Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi (Pepen) menyebar "kebohongan" terkait dana hibah untuk kompensasi sampah dan bau dari Pemprov DKI Jakarta tahun 2018. Pepen ngotot mengatakan pihaknya belum menerima dana itu meski sudah dibantah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan mengancam akan menutup Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantergebang.
Belakangan, Wakil Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto mengakui pihaknya sudah menerima dana hibah dan kompensasi bau sampah dari Pemprov DKI senilai Rp 194 miliar lebih. Tri menuturkan yang dipersoalkan adalah kompensasi untuk 2019, bukan hibah tahun 2018 seperti dikatakan Pepen.
Bukan hanya soal pencairan dana hibah, Pepen juga sempat menuding Pemprov  DKI sulit ditemui. "Sulit, sulit, sulit, tidak ada komunikasi sama sekali. Sekarang kan seolah-olah tidak ada PKS (perjanjiankerja sama) dan seolah-olah kita tidak bermitra. Bahkan, kita ingin bertemu (Pemprov DKI) saja tidak ada kejelasan," kata Pepen seraya membandingkan dengan gubernur DKI sebelumnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Namun belakangan  Pepen mengakui dirinya sudah bertemu Wakil Gubernur DKI Jakarta (saat itu) Sandiaga Uno untuk membahas kemitraan dan PKS pada Desember 2017 lalu. Â
Bukan hanya membandingkan dengan Ahok, anak buah Pepen pun menyerang Anies  tanpa data. Menurut Kepala Bidang Pengendalian dan Evaluasi Badan Perencanaan Pembangunan Kota Bekasi Marlina, dana hibah kemitraan untuk Bekasi dipakai untuk merealisasikan OK OCE, program andalan Anies-Sandi. Pernyataan Marlina kemudian menjadi headline sejumlah media dan dijadikan alas pembenar jika Pemprov DKI tidak peduli pada PKS dengan Pemkot Bekasi demi mewujudkan janji politiknya.
Mengapa Pepen dan anak buahnya begitu "brutal" menyerang Pemprov DKI, terutama Gubernur Anies, melalui media massa?
Selain dugaan kesulitan keuangan yang terjadi di Pemkot Bekasi akibat platform APBD 2018 di luar kemampuan seperti ditulis sebelumnya di sini, serangan Pepen dan anak buahnya memiliki tendensi politik. Pepen sepertinya memanfaatkan sentimen segelintir orang yang belum mau menerima realitas politik di Jakarta. Terbukti, serangan Pepen dijadikan alas pijak sejumlah orang untuk menguarkan kebencian.
Kita mempertanyakan etika Pepen dan anak buahnya yang mencampuri rumah tangga daerah lain. Jika hal itu dimaksudkan untuk menekan agar Pemprov DKI mau merealisasikan permintaan dana kemitraan hingga Rp 2 triliun, Pepen telah melakukan blunder besar.
Dari pernyataan Anies, jelas DKI tidak akan mengikuti kemauan Bekasi meski menggunakan isu Bantargebang. Sebab penggunaan lahan Bantergebang sebagai TPST sudah berlangsung sejak 1985 lalu dan merupakan kebijakan pusat karena lintas provinsi.
Ketika turun tangan untuk menyelesaikan pertikaian antara Pemkot Bekasi dengan Ahok pada tahun 2015 lalu, salah satu poin yang ditekankan Presiden Jokowi adalah memerintahkan Kapolda untuk menjamin truk sampah DKI ke Bantargebang bisa melintas 24 jam tanpa penghadangan oleh Pemkot Bekasi. Apakah perintah Presiden sudah tidak berlaku lagi setelah Ahok lengser?
Jika cara-cara Pepen dibenarkan, bukan mustahil akan menjadi presden bagi daerah lain. sebagai ilustrasi, bagaimana jika DKI menutup seluruh aliran sungai dari daerah lain yang selama ini menjadi penyebab utama banjir di Jakarta? Atau ada daerah yang melarang lautnya disinggahi nelayan daerah lain seperti dulu di awal-awal pemberlakukan otonomi daerah?