Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rekomendasi Mubalig Dibatalkan, Beranikah Menag Mundur?

25 Mei 2018   07:07 Diperbarui: 25 Mei 2018   08:42 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Foto: KOMPAS.com

Kementerian Agama akhirnya membatalkan rekomendasi 200 mubalig atau penceramah yang sempat dirilis. Agar tidak menjadi kebiasaan, sebaiknya Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan contoh dengan mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban. Terlebih sebelumnya sudah banyak kebijakan penyelenggara negara yang membuat gaduh dan kemudian dianulir namun tidak ada yang merasa malu.

Kepastian tidak digunakannya lagi rekomendasi dai versi Kemenag diungkapkan Lukman setelah dalam beberapa hari sebelumnya sibuk melakukan pembelaan. Bahkan di depan Komisi VIII DPR, Lukman masih meyakini kebijakannya tidak bermasalah. Lukman pun sempat "meminta bantuan" Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk melakukan counter. Hal itu terlihat saat MUI mati-matian membela kebijakan Kemenag, termasuk ketika menyebut tidak masuknya nama Ustad Abdul Somad, karena penceramah kondang asal Riau itu menolak alias bukan salahnya Kemenag.

MUI juga yang akhirnya dijadikan "pintu darurat" oleh Menag ketika tidak mampu lagi menghadapi kritik bertubi-tubi, terutama dari kalangan ulama Nahdlatul Ulama (NU). Protes Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj kelihatannya tidak diduga sama sekali. Lukman sepertinya meyakini kebijakan tersebut akan diterima kelompok Islam moderat seperti NU yang selama ini berseberangan dengan kubu Islam puritan. Terlebih nama-nama dai terkenal yang tidak masuk rekomendasi utamanya berasal dari kubu Front Pembela Islam dan Pengawal Fatwa MUI termasuk Habib Rizieq Shihab dan Bachtiar Nasir.    

Kini Lukman menyerahkan rekomendasi penceramah ke MUI. "(Soal rekomendasi 200 mubalig) jangan tanya ke saya. Itu sepenuhnya sudah jadi kewenangan MUI," ujar Lukman.

Tentu saja MUI tidak akan menggunakan rekomendasi itu. Jika pun kelak MUI mengeluarkan daftar penceramah---namun sepertinya tidak akan dilakukan, tentu yang keluarg nama-nama yang sudah dikompromikan dengan ormas-ormas Islam, bukan berdasarkan rekomendasi Kemenag.

Apakah  dengan dibatalkannya rekomendasi persoalan sudah selesai? Mesti tidak begitu. Kasus ini harus menjadi pelajaran bagi Kemenag untuk tidak mengurusi hal-hal teknis yang bukan tupoksinya. Kemenag cukup membuat kebijakan dan panduan umum tentang peceramah yang dapat dijadikan acuan oleh lembaga pemerintah atau masyarakat yang ingin mengundang penceramah.

Selain itu, Menag Lukman juga harus berani mengundurkan diri karena telah membuat kebijakan yang kontroversial dan menimbulkan keresahan di tengah umat. Hal ini sangat penting sebagai warning kepada para penyelenggaran negara untuk tidak mudah membuat kebijakan tanpa dilakukan kajian mendalam. Terlebih jika hanya mengejar kepentingan politik sesaat.

Sudah terlalu banyak kebijakan penyelenggara negara yang cucuk-cabut. Dalam lima bulan terakhir saja, sedikitnya ada tiga kebijakan pemerintah yang dianulir karena menimbulkan kontroversi.  Sebelum geger rekomendasi penceramah, Presiden Jokowi sudah menganulir kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terkait larangan penggunaan cantrang oleh nelayan.

Demo besar-besaran para nelayan dari pesisir utara Jawa, membuat Jokowi goyah. Padahal pemerintah sempat ngotot memberlakukan kebijakan tersebut dan hanya memberi moratorium hingga Desember 2017. Tetapi suara nelayan terlalu seksi untuk diabaikan menjelang gelaran Pilkada 2018 dan Pemilu serta Pilpres 2019.Sambil menelan ludah dan dengan suara serak, Menteri Susi mengabarkan kemenangan nelayan yang saat itu berdemo di depan Istana menuntut pencabutan kebijakannya.

Belum genap sebulan lalu, pemerintah kembali menganulir kebijakan membatasi penggunaan kartu prabayar di mana pemilik nomor telepon seluler wajib melakukan registrasi sesuai Nomor Induk Kependudukan  (NIK) dan Kartu Keluarga (KK). Tujuannya sangat bagus yakni menekan angka kejahatan yang memanfaatkan kemudahan mendapatkan nomor selular prabayar. Selain mencegah penipuan dengan kedok hadiah, pesan berantai berisi hoaks, dan kejahatan cyber lainnya termasuk terorisme, pemilik nomor prabayar yang teregistrasi tentu akan lebih hati-hati dalam melakukan percakapan maupun transaksi elektronik.

Tetapi kebijakan tersebut ternyata merugikan pedagang pulsa. Sebab penghasilan terbesar mereka berasal dari penjualan kartu perdana. Demo pemilik konter dari seluruh Jawa memaksa pemerintah balik arah. Tanpa malu, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencabut keputusannya dan membebaskan satu KTP digunakan untuk registrasi kartu prabayar tanpa batas dari sebelumnya maksimal tiga nomor. Ancaman pemblokiran nomor yang tidak diregistrasi setelah tenggat waktu yang ditentukan juga tidak pernah dilaksanakan.  

Selain hilangnya anggaran, kebijakan cucuk-cabut itu juga menurunkan kepercayaan sebagian masyarakat kepada pemerintah, dan berpotensi merugikan keuangan negara yang jumlahnya tidak sedikit. Jika terus dibiarkan, bukan mustahil ke depan muncul lagi kebijakan "coba-coba" tanpa kajian mendalam. Dan jangan salahkan masyarakat jika akhirnya tidak lagi mempercayai (kebijakan) pemerintah.  

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun