Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tuan Presiden, Jangan Undang Taliban ke Indonesia!

12 Maret 2018   07:20 Diperbarui: 12 Maret 2018   07:40 1479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasukan Taliban. Foto: kompas.com (str/afp)

Simpati dan keinginan Presiden Joko Widodo menjadi pembela dan penengah kelompok-kelompok yang bertikai, khususnya yang terkait dengan warga Muslim, patut mendapat apresiasi. Setelah menunjukkan keberpihakannya yang nyata pada kemerdekaan Palestina, dan bantuan kemanusiaan kepada warga Rohingya yang terusir dari Myanmar, kini Jokowi mencoba mendinginkan titik didih sebenarnya: Afghanistan.

Meski ada permintaan dari Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, diplomasi Presiden Jokowi untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang bertikai di Afghanistan awalnya tidak terbaca. Ketika melakukan kunjungan tanggal 29 Januari 2018 lalu, Jokowi mengaku hanya sebagai balasan atas kunjungan Presiden Afghanistan dan mempererat kerjasama bilateral kedua negara. Dalam pidato penyambutannya, Jokowi mendoakan terciptanya perdamaian di negeri para mullah tersebut dan Indonesia akan mendukung secara aktif sebagai implementasi politik bebas aktif.

Upaya perdamaian yang digagas mulai mengerucut setelah Jokowi mengutus Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menindaklanjuti kunjungannya. JK yang berada di balik proses perdamaian di Aceh dan Poso, berangkat ke Afghanistan tanggal 27 Fabruari 2018. Sebelumnya JK juga sudah menerima kehadiran delegasi untuk perdamaian Afghanistan (High Peace Council).

Hasil diplomasi Jokowi-JK akan ditindaklanjuti dengan konferensi yang melibatkan pemerintah Afghanistan, Pakistan, Indonesia dan ulama-ulama Taliban. Tujuannya konferensi usulan Jokowi tersebut adalah membangun perdamaian yang kokoh dan adil untuk mengakhiri konflik yang sudah berlangsung selama 16 tahun. Taliban sendiri pernah berkuasa sejak tahun 1994 sebelum kemudian dilengserkan pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat pada tahun 2001 karena dituduh melindungi Al Qaeda pimpinan Osama Bin Laden yang dituding  berada di balik serangan ke World Trade Centre, Amerika Serikat, tanggal 11 September 2001.

Sulit meyakini gagasan Jokowi akan berhasil mengingat kompleksitas persoalan yang terjadi di Afghanistan. Taliban bukan hanya memerangi pemerintahan yang sekarang, namun juga ingin mengusir tentara Amerika Serikat yang sudah 16 tahun bercokol di sana. Artinya, perdamaian tanpa melibatkan Amerika Serikat dan sekutunya, jelas mustahil. Jika pun terjadi kesepakatan damai dengan poin Amerika Serikat harus keluar dari Afghanistan, maukah Presiden Donald Trump merealisasikannya? Ingat, tidak akan ada perdamaian abadi di Afghanistan selama tentara Amerika Serikat dan sekutunya masih berada di Afghanistan.

Saat inipun, tanda-tanda kegagalan konferensi itu sudah terlihat. Pemimpin Taliban di lapangan, menolakan tegas konferensi Jokowi. Taliban menuding konferensi tersebut hanya untuk melegitimasi kehadiran bangsa kafir ke Afganistan dan upaya menuding jihad suci yang digelorakan Taliban sebagai pertumpahan darah yang tidak sah.    

Konstitusi mewajibkan Indonesia turut aktif menjaga perdamaian dunia. Ditegaskan Jokowi apa yang dilakukan terhadap Palestina, bangsa Rohingya dan Afghanistan, merupakan amanat  konstitusi sehingga tidak perlu diperhitungkan untung-ruginya.

Namun demikian, membawa persoalan Afghanistan, khususnya yang berkaitan dengan Taliban, ke Indonesia juga sangat berbahayadi tengah maraknya isu-isu sektarian yang terjadi belakangan ini. Kita khawatir, konferensi tersebut justru akan memunculkan simpati berlebihan dari sebagian umat Islam Indonesia kepada Taliban karena merasa satu perjuangan. Isu "penjajahan" Amerika Serikat  di tanah Afghanistan, memiliki daya tarik bagi kelompok tertentu.

Ingat, sebelumnya, negara-negara berpengaruh di jazirah Arab seperti Arab Saudi, sudah menolak memediasi perdamaian di Afghanistan. Permintaan Presiden Afghanistan kepada Indonesia, mungkin merupakan opsi kedua, atau bahkan ketiga. Negara-negara Arab menolak menjadi penengah mungkin juga karena alasan-alasan seperti disebut di atas. Mereka tidak ingin negaranya terlibat dalam konflik serupa karena menyadari ada warga negaranya yang bersimpati pada perjuangan Taliban.

Harus dipahami bersama, Taliban tidak muncul semata karena persoalan kekuasaan. Buktinya tawaran damai Presiden Ashraf Ghani dengan imbalan pembagian kekuasaan dan menjadikan Taliban sebagai partai politik resmi, juga ditolak. Taliban memperjuangkan sebuah ideologi yang tidak akan surut hanya dengan tawaran pembagian kekuasaan.

Jika Presiden Jokowi berhasil mendamaikan pihak-pihak yang bertikai di Afghanistan, jelas sebuah prestasi yang bukan saja layak dianugerahi Nobel Perdamaian, tapi juga mengharumkan Indonesia. Namun jika gagal, sangat mungkin dampak politiknya akan terasa juga di dalam negeri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun