Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tato Mahasiswi dan Kebebasan Kampus

24 Desember 2017   16:53 Diperbarui: 24 Desember 2017   17:20 3582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni tato pada tubuh perempuan. Foto: tribunnews.com

Pemberitaan tentang mahasiswi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI),  menuai beragam tanggapan. Mayoritas  mengecam  kebijakan UAI. Persoalan pun melebar menjadi pertentangan antara hak pribadi dan kewenangan kampus.

Kisruh tentang kasus ini berawal dari postingan akun Instagram. Menurut mahasiswi tersebut, seperti dimuat di sini, dirinya dipaksa menandatangani surat pengunduran diri setelah pihak sekolah mengetahui dirinya bertato. Sedangkan versi UAI, mahasiswi tersebut mengundurkan diri karena sebelumnya sudah ada aturan yang melarang anak didik di kampus tersebut memakai tato. Larangan bertato, menurut Ketua Senat Akademik UAI Dr Suparji sudah diberlakukan sejak 2001 lalu yang didasarkan pada pertimbangan agama, etika, kepantasan, dan budaya.

Terlepas apakah mahasiswi tersebut dipaksa atau tidak saat mengundurkan diri, kebijakan UAI sudah tepat sehingga tidak perlu dipertentangkan dengan memasukkan faktor lain, apalagi politik. ada beberapa alasannya.  

Pertama, UAI adalah sekolah swasta berbasis agama Islam. Berdasarkan hukum Islam, tato atau rajah atau wasyimah, dilarang. Pemerintah memberikan kebebasan kepada tiap-tiap kampus membuat peraturan dalam rangka menunjang proses belajar mengajar, termasuk di antaranya penegakan disiplin mahasiswanya untuk mencapai tujuan pendidikan yang diemban. Itu sebabnya, ada kampus yang memperbolehkan mahasiswanya mengenakan kaos oblong saat mengikuti proses belajar-mengajar, namun ada juga yang melarangnya. Jangan membenturkannya dengan hak asasi. Jika melarang mahasiswanya bertato dianggap melanggar hak asasi, maka mewajibkan mahasiswa memakai baju yang sopan juga melanggar hak asasi karena sebagian dari kita mungkin ingin kuliah hanya dengan mengenakan pakaian dalam.  

Kedua, dalam budaya nusantara, memang dikenal beberapa suku yang menggunakan media tato tubuh sebagai sarana ritual dan adat istiadat. Tetapi lingkupnya sangat terbatas. Tato juga dikenal sebagai seni grafis di dinding-dinding gua. Pada perkembangannya, di beberapa suku bangsa lainnya, terutama di Jawa, tato hanya digunakan untuk menandai hewan ternak agar tidak tertukar dengan ternak milik orang lain. Tato juga dipakai untuk menandai para eks narapidana.

Selanjutnya, karena pengaruh budaya luar, tato menjadi seni gambar dengan menggunakan tubuh sebagai wadah (kanvas)-nya. Sebagian masyarakat kita kemudian mengapresiasinya  meski tetap tidak menghilangkan kesan "nakal" yang sudah terlanjur terpatri.

Ketiga, isu tato bukan untuk menyerang keyakinan pihak lain. Adalah hak setiap orang, setiap lembaga, untuk membuat aturan, memiliki persepsi, yang disesuaikan dengan norma agama dan budaya yang dianutnya. Bahwa banyak orang bertato yang baik dan banyak yang tidak bertato tapi korupsi, itu soal lain. Jangan dicampur-adukkan sekedar untuk pembenar egonya. Larangan di UAI juga tidak ada kaitannya dengan pelaku kriminal atau bukan. Jika didasarkan pada penghormatan budaya, pertanyaan sederhananya, apakah Universitas Indonesia akan memperbolehkan mahasiswanya mengikuti proses belajar-mengajar di kampus dengan memakai koteka?

Keempat, kebebasan kampus adalah dalam hal kebebasan akademik, pikiran dan pendapat. Jangan diterjemahkan sebagai bebas tanpa aturan. Jika kita nyimeng di kampus tetap saja bisa dicokok polisi meski katanya aparat keamanan dilarang masuk kampus.

Tidak selamanya, sesuatu hal yang tidak tidak sesuai dengan "standar" kita, lantas buruk. Hanya karena tato dilarang oleh agama Islam, lantas dihujat. Hanya karena yang melarang kampus UAI- yang mungkin bagi sebagian orang dianggap menjadi "kampus radikal", lantas dikecam.  

Mari saling menghargai sikap orang lain, termasuk kebijakan UAI, sepanjang masih sesuai koridor hukum yang berlaku. Jangan mudah memuntahkan cacian atas nama kebencian. Jika kita Pancasila, berbhinneka tunggal ika, mestinya kita bisa menerima perbedaan yang ada. @yb

PS: sebagian materi artikel ini sudah dimuat di sini. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun