Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politisi Sakit atau Sakit yang Dipolitisasi?

12 September 2017   22:08 Diperbarui: 13 September 2017   13:51 2913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setya Novanto Foto: rmol.co

Secara umum politisasi adalah menarik suatu masalah bukan politik ke dalam wilayah politik. Dengan demikian dipolitisisi memiliki arti perbuatan (seseorang) yang menarik masuk masalah tersebut ke lingkup politik. Lalu bagaimana jika politisi (yang) sakit? Tidak perlu dipolitisasi, dengan sendirinya sudah berada di wilayah politik.

Tulisan di atas sebenarnya bukan hendak menjelaskan pengertian politisasi dan dipolitisasi. Jika Anda bingung memahami, maka Anda sudah benar karena suatu masalah di ranah politik tidak akan pernah benar-benar bisa kita pahami. Intinya, jangan terjebak pada kebingungan apakah Ketua DPR Setya Novanto (benar-benar) sakit atau pura-pura sakit. 

Jangan pula memperdebatkan apakah sakit vertigo atau gula darah naik. Keingintahuan Anda tidak akan pernah terjawab tuntas karena yang dihadapi para politisi. Biar nanti dokter dari KPK yang menyimpulkan jenis penyakit apakah sesungguh yang diderita Setya Novanto, termasuk apakah benar-benar sakit atau sekedar nervous membayangkan rompi tahanan KPK. 

Padahal mestinya Setya Novanto memiliki keyakinan dirinya tidak bersalah karena status tersangka belum membuktikan apa pun sebelum ada proses peradilan dan keputusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah).

Mari kita bahas hal lain yang lebih menarik terkait surat permintaaan penundaan pemeriksaan terhadap Setya Novanto yang dikirim pimpinan DPR dengan alasan yang bersangkutan tengah mengajukan gugatan praperadilan. Apakah surat tersebut bentuk solidaritas sebagai sesama pimpinan DPR ataukah bentuk intervensi DPR terhadap proses penegakan hukum yang tengah dilakukan oleh KPK? Sebab dua-duanya salah dan memiliki konsekuensi hukum.

Kita andaikan surat itu sebagai bentuk solidaritas. Selain kepatutan, pengirim surat telah menyalahgunakan jabatan dan kelembagaan DPR untuk membela seseorang yang diduga melakukan tindak pidana (korupsi). Padahal perbuatan yang disangkakan kepada Setya Novanto tidak terkait dengan jabatannya saat ini. Kasus korupsi yang dilakukan Setya Novanto terjadi saat dirinya menjabat sebagai Ketua Fraksi  Partai Golkar DPR Ri periode 2009-2014. Patutkah DPR secara kelembagaan (ingat, surat diantar oleh pegawai DPR dalam hal ini Kepala Biro Pimpinan Kesetjenan DPR Hani Tahapari) digunakan untuk mengungkapkan rasa solidaritas kepada pribadi seseorang yang tengah berperkara hukum?

Kedua, jika surat pimpinan DPR diumpamakan sebagai bentuk intervensi, maka sudah selayaknya KPK menangkap mereka dengan pasal obstruction of justice karena menyalahgunakan kewenangannya untuk menghalang-halangi proses penyidikan. Meski bisa berdalih surat itu hanya imbauan, tetapi mereka telah menggunakan stempel kelembagaan (DPR) dengan tujuan penundaan suatu proses penyidikan kasus pidana (korupsi). Lain halnya jika surat itu bersifat pribadi-pribadi pimpinan DPR, tidak menggunakan nama lembaga. Dengan menulis surat di berkop dan distempel atas nama lembaga, maka mereka telah menjaminkan, menggadaikan, lembaga DPR untuk kepentingan pribadi seseorang.

Di luar itu, kita bisa melihat bagaimana kegaduhan di DPR yang muaranya seperti dimaksudkan untuk membentengi Setya Novanto, termasuk pembentukan Pansus Angket KPK. Semua sumber daya seperti dikerahkan demi kepentingan Sang Ketua. Berapa waktu dan anggaran yang terbuang percuma demi itu semua? Andai -- sekali lagi andai, waktu dan anggaran yang dipakai untuk Pansus Angket KPK digunakan untuk membahas undang-undang yang menyangkut hajat hidup orang banyak, berapa banyak UU yang sudah bisa diselesaikan oleh DPR? Pernah hal semacam itu terpikirkan oleh mereka (yang minta dipanggl) Yang Terhormat?

Mengapa pimpinan dan anggota DPR tidak mau belajar mendengarkan aspirasi masyarakat secara umum, bukan hanya golongannya saja? Saat ini masyarakat geram dengan korupsi e-KTP yang merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun. Mestinya DPR mendorong, memperkuat, KPK agar segera menuntaskan proses hukum terhadap para penikmat uang haram tersebut. Masyarakat pasti mendukung setiap langkah DPR menggunakan hak dan kewenangannya, manakala digunakan secara semestinya. Memanggil KPK, menggelar rapat dengar pendapat dengan mitra kerja, adalah tugas mulia sebagai pengejawantahan hak sekaligus kewajiban melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga pengguna uang rakyat. Tetapi jangan kotori tugas tersebut dengan muatan kepentingan pribadi.

salam @yb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun