Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan featured

Lagi, Jokowi Andalkan Utang untuk Menopang APBN 2018

16 Agustus 2017   13:51 Diperbarui: 2 Agustus 2018   07:10 9526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi mengenakan baju adat Bugis menyampaikan pidato Kenegaraan di depan rapat paripurna DPR dan DPD. Foto: KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG

Pemerintahan Presiden Joko Widodo -- Jusuf Kalla kembali mengandalkan utang untuk menutup defisit APBN 2018. Tidak tanggung-tanggung, tahun depan pemerintah akan menambah utang hingga totalnya mencapai sekitar Rp 4.000 triliun atau nyaris dua kali APBN 2017 sebagaimana terangkum dalam Nota Keuangan 2018 yang disampaikan Presiden Jokowi di depan anggota MPR- gabungan DPR dan DPD. Bagaimana kelak kita mengembalikan utang tersebut?

Defisit anggaran bukan malapetaka. Defisit memiliki sisi positif untuk memacu kinerja jajaran terkait, terutama sektor penerimaan negara baik pajak maupun nonpajak. Namun mematok nilai anggaran lebih besar dari potensi pendapat sehingga menimbulkan defisit juga tidak selamanya baik, apalagi jika terlalu lebar. Terlebih jalan pintas untuk menutupinya selalu mengandalkan utangan. Kondisi seperti ini sudah berjalan sejak beberapa era sebelumnya dan mencapai puncaknya di masa Presiden Jokowi.

Tidak heran jika laju penambahan utang rezim Jokowi sangat cepat, bahkan lebih cepat dari pertumbuhan penduduk. Selama 4 tahun menjabat (sampai dengan 2018), Presiden Jokowi akan menambah utang sekitar Rp 1.300 triliun. 

Sebagai perbandingan agar tidak menimbulkan bias, selama berkuasa selama 32 tahun mantan Presiden Soeharto mewariskan utang Rp 551,4 T, BJ Habibie (setahun dan dalam kondisi kritis ekonomi berat) menambah sekitar Rp 380 T, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (2,5 tahun) Rp 200 T, Megawati Soekarnoputri (2,5 tahun) Rp 27 T, Susilo Bambang Yudhoyono (10 tahun) berutang Rp 1.400 T.

Kita tidak menutup mata pertumbuhan infrastruktur di masa Jokowi juga sangat pesat. Pemerintah memperbesar porsi anggaran ke daerah agar tercipta pembangunan yang berkeadilan. Infrastruktur megah dan mahal bukan hanya dinikmati warga perkotaan, terutama Jawa dan Sumatera, namun juga seluruh pelosok negeri, dari daerah terpencil hingga terluar. Pembangunan di daerah juga menjadi stimulan ekonomi bagi warga setempat dan pada akhirnya akan menjadi penopang ekonomi nasional.

Tetapi bukan berarti pemerintah boleh menghalalkan "segala cara". Ekonomi yang terlalu panas berpotensi menimbulkan kontraksi dan jika terkena isu yang tidak mampu dikendalikan, bukan mustahil akan jebol. 

Gagal bayar (bunga maupun angsuran) adalah salah satu contoh isu yang sangat sensitif karena bukan saja menjatuhkan peringkat, namun lebih dari itu, bisa menjadi awal kebangkrutan suatu negara. Kasus gagal bayar utang Yunani adalah contoh terkini bagaimana negara bangkrut dan akhirnya "dikuasai" para pemilik modal.

Belum lagi potensi terjadinya ledakkan kewajiban bayar angsuran dan bunga utang yang jumlahnya kian membengkak dari tahun ke tahun. Sekedar mengingatkan bahwa pada tahun 2019, APBN kita akan disedot sekitar Rp 400 triliun untuk membayar cicilan dan bunga pinjaman.

Konsekuensi logis dari tingginya utang juga akan dirasakan langsung oleh masyarakat berupa hilangnya subsidi dan peningkatan berbagai macam pajak. Meski kita menolak subsidi komsumtif yang hanya memanjakan masyarakat, namun masih ada sektor yang memang harus disubsidi oleh pemerintah. 

Selain kesehatan dan pendidikan, subsidi masih perlu diberikan untuk sektor pertanian dan dunia usaha agar harga barang yang dihasilkan kompetitif sehingga bisa menembus pasar ekspor. Negara-negara liberal sekali pun, seperti Amerika Serikat masih tetap memberikan subsidi pada sektor tertentu, terutama pertanian (farm bill) agar produk dalam negeri bisa menandingi serbuan barang impor.

Secara umum, jika dibandingkan dengan tahun 2017, porsi utang memang turun. Sebagai gantinya pemerintah akan lebih menggenjot sektor penerimaan pajak. Dari nilai APBN 2018 yang dipatok sebesar Rp 2.204,38 triliun atau naik sekitar Rp 71 triliun dibanding total APBN 2017, pendapatan negara dari sektor pajak dan nonpajak diproyeksikan sebesar 1.878,4 triliun atau lebih tinggi dari proyeksi penerimaan sepanjang tahun 2017 sebesar Rp 1.736,06 triliun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun