Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Koalisi Maksa ala Gerindra

27 Mei 2016   13:22 Diperbarui: 28 Mei 2016   18:59 8564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: VIK.kompas.com

Tawaran koalisi Gerindra sudah langsung ditolak oleh kader-kader PDIP yang menginginkan agar partainya mengusung calon sendiri sebagai jalan untuk melampiaskan kemarahan setelah ‘dihina’ sedemikian rupa oleh kubu Ahok. Komentar-komentar buzzer Ahok di media sosial dan kolom-kolom komentar media online, membuat banyak kader PDIP ingin membuktikan mereka masih cukup kuat dan militan.

Cyber army Ahok yang mendominasi media sosial dan kolom komentar media daring, kebanyakan bukan warga DKI sehingga belum bisa menjadi tolok-ukur elektabilitasnya. Hal itu berbeda dengan gelaran pilpres di mana melibatkan pemilih dari seluruh daerah. Terlebih lagi hasil survei yang telah dirilis beberapa kali berasal dari lembaga survei yang memiliki kedekatan hubungan dengan Ahok, seperti Cyrus Network, sehingga sangat mungkin bias.

Penghinaan temanahok ketika menciptakan meme seolah Ahok hendak ditarik oleh banteng penyihir, tidak mungkin akan dilupakan begitu saja. Dalih gambar itu tidak ada kaitannya dengan PDIP, tidak akan mengurangi kemarahan warga Banteng moncong putih, karena gambar itu muncul saat temanahok memaksa agar Ahok menggunakan jalur independen di tengah kedekatan Ahok dengan PDIP.

Kader PDIP khawatir jika koalisi yang dibangun dengan Gerindra akan mempengaruhi rivalitas di tingkat nasional. Ingat, Prabowo masih sangat mungkin kembali menantang Jokowi pada Pilres 2019. Jika itu terjadi, maka akan membuat hubungan kedua partai kembali memanas. Hubungan baik kedua kader partai yang terjalin manakala koalisi di level Jakarta terbentuk, akan kembali pecah. Situasi akan semakin runyam manakala pada Pilkada 2017 pasangan hasil koalisi Gerindra-PDIP berhasil menguasai Balai Kota. Ibaratnya, menang pun berpotensi bentrok apalagi kalah.

Untuk menghindari hal itu, PDIP harus menolak tawaran koalisi maksa ala Gerindra, kecuali jika diberi hak untuk menentukan calon gubernur, dan Gerindra cukup mengajukan calon wakil gubernur. PDIP harus memastikan proses pengkaderan yang sudah dilakukan selama ini dapat terus berjalan. Jika sampai PDIP mengorbankan kadernya hanya untuk meraih kemenangan sesaat, maka PDIP tidak ada bedanya dengan partai-partai baru.

PDI juga harus berani mengesampingkan nama Yusril Ihza Mahendra yang saat ini masih mengikuti proses penjaringan. Selain untuk memberikan kesempatan kepada kadernya, para petinggi PDIP juga harus menyadari adanya perbedaan mendasar baik secara ideologi maupun pandangan politik antara Yusril dengan PDIP. PDIP memiliki ideologi Pancasila berbasis Marhaenisme, sedang Yusril berideologi Pancasila berbasis Islam (keharusan menggunakan Pancasila sebagai ideologi dasar semua partai politik di Indonesia membuat rancu, sehingga partai-partai berbasis Islam seperti PBB, PPP dan PKS menambahkan Islam sebagai Ideologinya di samping Pancasila).

Selain itu Yusril terlalu “klimis dan agamis” di mata pemilih PDIP yang kebanyakan kaum Marhaen dan abangan. Hal ini akan menjadi persoalan serius dalam komunikasi politik. Meski Yusril bisa saja mengenakan kaos Mickey Mouse dan makan di warteg saat bertemu warga PDIP, namun tubuhnya tetap memancarkan aura elitis sehingga tidak mungkin bisa menyatu.

Dan yang paling utama lagi, bukan hal mustahil Yusril menjadikan kursi gubernur DKI sebagai batu loncatan untuk ke istana, mengikuti jejak Joko Widodo. Sayangnya, ketika hal itu terjadi, Yusril akan bertemu Jokowi yang merupakan kader PDIP.

PDI harus tampil menjadi lokomotif pentingnya mengusung kader sendiri saat memiliki peluang seperti dalam Pilkada DKI. Partai politik yang hanya mengejar kemenangan dalam kontestasi demokrasi- sehingga lebih senang memilih calon di luar kadernya yang memiliki elektabilitas tinggi, merupakan bukti kegagalan partai politik menciptakan calon-calon pemimpin bangsa.

Bukankah tujuan paling dasar pendirian sebuah partai politik adalah merebut kekuasaan? Bagaimana mungkin bisa mewujudkan tujuan dasarnya jika partai tidak memiliki kader berbobot yang disukai rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi?

Setiap partai politik harus mampu melahirkan kader berbobot sesuai ideologinya. Jika partai politik dalam hajat perebutan jabatan politik seperti pilkada, mendukung kader partai lain, atau tokoh di luar partai semata-mata dengan pertimbangan elektabilitas, jangan harap cita-cita partai akan tercapai. Lebih rancu lagi jika yang didukung memiliki ideologi politik yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun