Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sesumbar Ahok dan Kepongahan Para Politisi

21 April 2016   18:13 Diperbarui: 22 April 2016   06:30 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak ada yang meragukan program kerja Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) untuk mengatasi banjir tahunan. Triliunan dana dikucurkan, ratusan program diluncurkan, ribuan tenaga direkrut, dibarengi dengan penghancuran ribuan rumah di sepanjang bantaran sungai, di jalur hijau dan di daerah-daerah kumuh lainnya, demi satu tujuan: meniadakan genangan air di wilayah Jakarta. Wilayah-wilayah kumuh harus dimusnahkan demi kenyaman penghuni kawasan-kawasan elit.

Ketika akhir tahun 2015 sampai awal 2016, banjir ternyata tidak menyentuh wilayah Jakarta, Ahok pun  langsung menepuk dada : “Kalau hujan tiga hari berturut-turut sekalipun, begitu dia berhenti, saya jamin surut. Kecuali pompanya disabotase atau ada bendungan yang jebol.”

Hari ini, atau sekitar 3 bulan setelah ucapan Ahok tersebut Jakarta kebanjiran. Banjir pun tidak langsung surut begitu hujan berhenti. Genangan tetap tinggi di sejumlah wilayah di Jakarta. Kemacetan sebagai imbas jalanan yang terendam banjir, membuat sejumlah karyawan terlambat masuk ke kantor.

Ini fakta. Ini realita. Sampai sore ini tidak ada laporan pompa air yang disabotase. Tidak ada juga bendungan yang jebol kecuali di wilayah Jatiasih, Bekasi. Seolah lupa dengan ucapan tiga bulan sebelumnya, dengan penuh percaya diri dan suara meninggi, Ahok pun ‘menyalahkan’ hujan deras dan naiknya permukaan air laut akibat anomali cuaca La Nina, yang datang bersamaan.

Sebelum melanjutkan tulisan ini, izinkan aku mengakui capaian Ahok dalam menangani persoalan banjir di Jakarta. Luas wilayah yang terkena banjir hari ini, jauh berkurang dibanding banjir tahun-tahun sebelumnya.

Ketika tadi terjebak macet di Gunung Sahari, Jakarta Pusat, suara-suara mencemooh Ahok pun terdengar. Sama seperti suara-suara yang berisik di kolom-kolom komentar berita banjir di media-media dalam jaringan. Sebagian besar mencaci-maki Ahok. Miris mendengarnya, sebab seolah mereka menafikan, banjir kali ini tidak sedasyat tahun-tahun yang lalu. Zaman Sutiyoso, zaman Fauzi Bowo, sampai zaman Joko Widodo, banjir menggenangi Jakarta namun tidak terdengar caci maki yang sedemikian dasyat. Tetapi sekarang ketika cakupan banjir sudah menyusut dibanding tahun-tahun sebelumnya, mengapa mereka malah begitu marah? Apakah karena Ahok Kristen dan China seperti yang sering diucapkan sendiri oleh Ahok?

Ternyata jawabannya tidaklah begitu. Mereka marah karena entah sudah berapa ribu rumah yang dihancurkan, berapa ribu keluarga yang terpaksa berpisah, berapa ribu anak-anak yang ‘bertukar’ sahabat, namun nyatanya Jakarta tetap saja kebanjiran. Mereka marah karena sebelumnya Ahok telah sesumbar tidak akan terjadi banjir meski Jakarta diguyur hujan tiga hari tiga malam seperti dikutip di atas, namun nyatanya baru hujan semalam sudah terjadi banjir di mana-mana. Mereka marah karena kesombongan pemimpinnya yang ternyata tidak sesuai realita.

Ternyata Ahok tidak beda dengan para politisi lainnya yang gemar mengumbar sesumbar. Kita ingat bagaimana publik marah ketika Ketua Umum Partai Demokrat (saat itu) Anas Urbaningrum sesumbar akan gantung diri di Monumen Nasional (Monas) jika terbukti melakukan korupsi. Rakyat yang marah terus mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera mengusut  Anas. Hasilnya, Anas terbukti melakukan korupsi. Demikian pula sesumbar Amien Rais yang akan jalan kaki dari Jojga ke Jakarta jika Jokowi menang dalam Pilpres 2014 lalu. Rakyat pun marah. Bahkan ada yang sengaja mencoblos Jokowi-JK padahal dirinya tidak mendukung pasangan ini, hanya karena ingin melihat Amien Rais jalan menunaikan janjinya.

Baru-baru ini kita juga mendengar sesumbar Habiburokhman yang akan terjun dari Monas jika temanahok bisa mengumpulkan sejuta copy KTP dukungan untuk Ahok. Tentu saat ini sudah banyak yang menunggu hal itu. Bahkan ada beberapa orang sebenarnya tidak ingin menyerahkan KTP-nya untuk mendukung Ahok, terpaksa melakukannya karena tidak suka dengan kepongahan politisi Gerindra tersebut.

Terakhir kita mendengar janji Haji Abraham Lunggana (Lulung) yang akan mengiris kedua daun telinganya jika Ahok berani membawa hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang dinilainya ‘ngaco’ ke pengadilan. Belakangan Lulung ngeles sehingga membuat siapa saja yang mendengarnya menjadi geram. Beruntung sampai hari ini pun Ahok belum membawa LHP BPK ke ranah hukum sehingga  tekanan ke Lulung sedikit mengendur.

Itulah sedikit contoh ’kepongahan’ para politisi. Ahok dan juga para politisi lainnya, mestinya tetap bekerja dengan baik, tanpa perlu mengumbar kata-kata nan jumawa. Rakyat mencatat, rakyat memperhatikan, dan rakyat akan menagihnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun