Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik

4 Alasan Jokowi Enggan Temui SBY

19 November 2016   09:38 Diperbarui: 10 Desember 2016   11:13 143810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono berbicara mengenai situasi politik terakhir dalam konferensi pers di kediamannya Puri Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Rabu (2/11/2016). (Iwan.K/Situs Demokrat.or.id)

Konsolidasi Presiden Joko Widodo tidak akan membuahkan hasil maksimal jika tetap meninggalkan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Meski masih ada nama Amien Rais dan tokoh penting yang memiliki pengaruh sehingga wajib juga “disapa”, SBY tetaplah tokoh kunci yang bisa ikut  meredam beragam spekulasi yang saat ini beredar di tengah masyarakat. Namun ternyata di samping alasan pilkada DKI, masih ada alasan lain yang “melarang” Jokowi menemui Presiden RI ke 6 tersebut.

Perseteruan yang terjadi saat ini, secara politik sangat menguntungkan PDI Perjuangan. Menguatnya sentimen agama- yang menemukan momentumnya pada kasus Basuki Tjahaja Purnama, telah membangkitkan gelora nasionalisme pada kelompok yang selama ini “tidur” dalam hiruk-pikuk politik. Mereka kemudian bergabung dalam barisan PDIP karena dianggap sebagai representasi suara nasionalis. Menjelang 2 Desember, dipastikan akan terjadi polarisasi dua kekuatan klasik yang saling berhadapan yakni kelompok nasionalis dan agama sebagaimana terjadi pada awal-awal kemerdekaan hingga akhir tahun 50-an.

Namun berbeda dengan era 50-an, pertarungan saat ini sangat berbahaya karena melibatkan emosi massa secara langsung akibat provokasi di media-media sosial. Jika di masa lalu pertarungan hanya terjadi antar elit politik, dalam bentuk perdebatan di ruang-ruang rapat, kali ini pertarungan dilakukan secara langsung oleh individu-individu di ruang-ruang media (sosial) tanpa ada filter. Caci-maki dilontarkan secara terbuka sehingga memancing keterlibatan individu lain yang sebenarnya tidak terlalu paham terhadap persoalan yang diperdebatkan.

Kondisi ini memang sudah diimpikan oleh kelompok yang merasa tidak akan bisa berkuasa dalam sistem demokrasi seperti sekarang. Mereka berusaha menciptakan suasana chaos sebagai legitimasi untuk mengambil-alih kekuasaan. Sebab, siapa pun yang kalah, baik nasionalis maupun kelompok agama, dipastikan akan “meminta bantuan” pada kelompok ini.

Tiga kekuatan, di mana dua di antaranya tengah berhadapan dan satu kekuatan menunggu di tikungan, memaksa Presiden Jokowi melakukan konsolidasi politik secara intens. Tidak ada waktu lagi bagi Presiden untuk blusukan ke ujung negeri karena sewaktu-waktu konflik horizontal bisa meledak. Terlebih kelompok yang menunggu di tikungan terus mengipasi dua kelompok lainnya untuk memanaskan situasi.

Tentu tidak akan terbayang dampak sosial yang timbul jika benar-benar  terjadi chaos. Tidak ada lagi waktu untuk menarik ucapan-ucapan provokatif yang selama ini ditebar dari dalam kamar melalui gadget canggih, sambil makan popcorn. Tidak ada lagi waktu untuk menangisi sanak-saudaranya yang terpanggang api dendam. Tidak ada lagi perusahaan asuransi yang akan menanggung harta benda yang terbakar emosi massa.

Sayangnya konsolidasi yang dilakukan Presiden Jokowi tidak tuntas. Masih ada tokoh-tokoh kunci yang dilewati sehingga apa yang dilakukan Jokowi tak lebih dari konsolidasi setengah hati. Menafikan kekuatan SBY- dan Amien Rais, sama halnya dengan menganggap tidak ada persoalan sementara di sisi lain persoalan itu secara nyata telah mengganggu jadwal kerjanya. Praktis sudah dua minggu waktunya terbuang untuk melakukan konsolidasi ke TNI/Polri, partai politik dan ormas-oramas Islam. Meski itu juga bagian dari kerja- merawat keberagaman kekuatan bangsa, tetapi andai tidak ada persoalan ini, tentu Presiden Jokowi bisa memanfaatkan waktunya untuk blusukan ke berbagai penjuru Indonesia, menyambangi dan memberikan spirit kepada rakyatnya di daerah-daerah terpencil.   

Mengapa Presiden Jokowi masih enggan menemui SBY?

Pertama, sepertinya masih ada ganjalan karena Jokowi tidak ingin melukai hati Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Perseteruan kedua mantan presiden itu sudah berlangsung 10 tahun lebih dan Jokowi tidak ingin dicap sebagai “pengkhianat” andai sampai sowan ke Cikeas. Bagaimana pun posisi Jokowi berbeda dengan Taufik Kiemas yang tetap bersilaturahim dengan SBY tanpa dicurigai istrinya karena  Megawati yakin suaminya tidak akan berkhianat.  

Kedua, Partai Demokrat dianggap bukan sebagai ancaman. Kader-kader Demokrat tidaklah sevokal politisi dari partai non pemerintah. Bahkan dalam hal kritik kepada Jokowi, masih kalah garang dibanding kader-kader PDIP sendiri.

Ketiga, elektabilitas Demokrat tengah berada di titik nadir akibat berbagai kasus- terutama korupsi, yang dilakukan (mantan) kader-kadernya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun