Mohon tunggu...
yona listiana
yona listiana Mohon Tunggu... Desainer - penjahit

suka mancing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Terlibat pada Narasi Tak Santun

19 September 2022   19:20 Diperbarui: 19 September 2022   19:44 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Media sosial merupakan satu fenomena yang tidak bisa terelakkan pada era ini. Sejak lahirnya twitter dan beberapa platform media sosial, di tingkat global dan Indoensia, medsos mulai digunakan -- mula-mula untuk kepentingan promosi dan perluasan pertemanan secara online. Itu ditandai dengan keterlibatan beberapa akun twitter di Indonesia dan platform facebook (tahun 2009).

Merujuk pada booming medsos pada Pilpres AS 2008, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 medsos digunakan beberapa pihak dalam kampanyenya sekaligus melibatkan buzzer dalam melempar narasi kampanye. Karena cara berkampanye seperti itu dinilai efektif, maka fenomena itu berlanjut pada Pilpres pada tahun 2014 dan kembali digunakan pada tahun 2017 pada saat Pilgub Jakarta.

Buzzer atau jika diindonesiakan adalah pendengung menjadi faktor penting dalam medsos dengan tujuan politik. Biasanya mereka bertugas menggiring opini public di media sosial terutama yang terkait dengan politik kepentingan dimana sang buzzer bernaung.

Dalam kontestasi itu biasanya warganet (pemakai internet dan media sosial) selalu melihat (membaca) pertarungan antar buzzer yang kadang bersifat kasar dan tak layak untuk diucap. Buzzer di medsos dengan leluasa melontarkan tanpa narasi tanpa ada koridor yang harus ditaati. Ini sangat berbeda dengan cara pekerja media mainstraim yang harus melakukan pekerjaan berlapis sebelum sebuah narasi (berita) dilempar kepada warganet. Sehingga secara kuantitatif (jumlah) narasi di medsos jauh melampaui narasi media mainstraim yang biasanya benar namun tidak selalu bisa menjadi pusat perhatian public.

Massifnya buzzer di media sosial memaksa warganet terbiasa dengan cara buzzer berkomunikasi . Selain kasar dan tidak santun, narasi buzzer (dan diikuti oleh sebagian besar warganet) adalah narasi-narasi yang tidak empatik dan saling serang. Akibatnya warganet Indonesia (yang dalam kehidupan nyata terkenal sangat santun dan ramah), berubah perangainya saat menggenggam hp untuk bermedsos. Ia seakan menjadi monster menakutkan dan tajam dalam berkata-kata.

 Sehingga tak heran jika Microsoft dalam satu survey  pada tahun 2020 yaitu digital Civility Index (DCI)  yang bertujuan untuk mengukur tingkat kesopanan digital global, Indonesia menduduki peringkat paling bawah di Asia Tenggara yaitu ranking ke 29 dari 32 negara di kawasan ini.

 Salah satu pegiat medsos yang diketahui sebagai buzzer, minggu lalu terpaksa harus minta maaf secara terbuka pada seorang putri pengasuh ponpes karena narasi yang sangat kasar dan bersifat menghina. Itu berakhir selain dengan permintaan maaf, tapi juga dengan himbauan untuk bermedsos secara bijak dan santun.

 Ini adalah tantangan bersama kita dan generasi muda. Mungkin tak mudah untuk meniadakan narasi yang terlontar oleh buzzer yang dikelola secaa professional. Tapi paling tidak kita tidak terlibat pada narasi tak santun dengan tidak meretweet atau menyukai (like) untuk narasi-narasi kasar, adalah contoh yang paling baik dan nyata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun