Mohon tunggu...
yona listiana
yona listiana Mohon Tunggu... Desainer - penjahit

suka mancing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perlu Sikap Skeptis untuk Ajaran Intoleransi

14 September 2019   05:30 Diperbarui: 14 September 2019   05:33 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu, seorang pejabat public memberi informasi kepada media soal beberapa perguruan tinggi yang terindikasi radikalisme. Dia memberi data nama-nama universitas itu dan kasus-kasus yang mereka tangani selama ini.

Sontak berita itu seakan 'menampar' pejabat universitas yang disebut. Beberapa universitas yang disebut memilih diam, tetapi beberapa lainnya yang disebut memberikan reaksi keras dengan menggelar konferensi pers. 

Intinya, mereka menolak jika pejabat atau institusi tertentu mengkaitkan universitas mereka dengan radikalisme.

Padahal secara kasat mata bisa dilihat bahwa beberapa dosen di universitas itu memang terpapar radikalisme dan itu sudah terangkat di media massa. 

Bahkan dosen yang terpapar radikal itu dekat dengan salah satu ormas yang sudah dilarang. Yang paing membuat tertegun adalah sang dosen punya gelar guru besar alias professor, suatu gelar paling bergengsi dalam dunia akademik. Tidak mudah bagi seseorang memperoleh gelar professor karena menuntut syarat tertentu.

Jika kita tilik dunia pendidikan kita memang intinya terletak saat sang guru mengajar kepada murid-muridnya. Atau sang dosen memberi kuliah kepada para mahasiswa. 

Dalam pengajaran itu ada ide-ide tertuang dan ditransformasikan dari sang guru kepada anak didiknya. Ide-ide itu sering didiskusikan diantara mereka. 

Hal ini paling sering terjadi karena sebagian besar institusi pendidikan tidak merekam apa yang terjadi di kelas, sehingga pengajaran sepenuhnya diserahkan kepada pengajar dalam hal ini guru atau dosen.

Menjadi bahaya tersendiri jika  apa yang didiskusikan atau diajarkan itu melenceng dari ketentuan pengajaran. Semisal sang guru atau professor yang terkena radikalisme itu memberi ide-ide intoleransi dalam pengajarannya.  

Kita tahu narasi-narasi intoleransi amat terkenal data pilpres dan pilkada dan banyak sekali pihak yang terjebak di dalamnya, termasuk kaum terdidik yang mengecap bangku kuliah.

Seseorang mudah sekali menjuluki orang lain yang berbeda keyakinan dengan mereka dengan istilah kafir. Tak hanya itu, meskipun orang yang seagama tapi tidak pada garis yang sama, mereka mengistilahkan itu sebagai kafir. Sebegitu mudah seseorang atau sekelompok orang menjuluki orang lain sebagai kafir.

Ide-ide intolerasi yang berkembang di bangku kuliah akan lebih tertanam di benak karena pengajaran seringkali bicara soal kapasitas orang yang memberi ide. 

Jika sang professor memberikan ide intoleransi kepada anak didiknya, apakah 100 persen anak didinya akan melawan atau menentang secara terbuka? Bisa dipastikan tidak.

KArena itu kita harus waspada dan selalu skeptic dengan dunia pendidikan kita. Kita harus selalu peka dan mengkaji kembali ide-ide dari guru dan pendidik yang secara nurani, melenceng dari seharusnya. 

Dengan begitu kita setidaknya bisa menyelamatkan diri sensiri dari ajaran radikal dan intoleransi yang kini banyak melanda negeri kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun