Peraba
Dari alat dria peraba juga kita bisa mendapatkan bahan untuk menulis. Seperti kita meraba dan merasakan keadaan kasar atau halusnya sesuatu. Misalkan: Permukaan kulit. Lantai rumah. Atau lainnya.
Lanjut ceritanya.
Anak ini kelihatan sedang merenungi nasibnya. Ia menghadapkan wajahnya ke depan ke sebuah arena bermain. Layaknya sebuah lapangan yang berkerikil berbintil di permukaannya. Ia menyapukan kedua telapak tangan mungilnya ke pipinya sendiri. Dan dia terkaget. Sebab telapak tangannya berlumur butir-butir tajam yang memerihkan kulitnya.
Perasa
Alat dria manusia yang terakhir adalah perasa yang berpusat di lidah. Ia merupakan pintu masuk informasi seumpama: Manis, pedas, asam, asin, dan seterusnya. Tapi selain itu juga bisa merasakan panas, dingin atau lunglai di sekujur tubuh. Semua itu bisa menjadi bahan untuk menulis. Tulislah itu!
Contoh.
Aku memesan rujak yang dijajakan seputar taman. Aku menikmatinya sembari memandang mengikuti situasi dan suasana sekeliling. Tak terasa mangkok di tangan kosong tiada yang bertinggal. Habis. Ludes. Tandas.Â
Yang tersisa yang kurasa hanyalah mulutku yang buka tutup seperti ikan mas koki. Aku berusaha menghalau kejamnya cabai yang masih membekas menempel menyengat di rongga mulut dan bibir. Aku menyeruput air mineral supaya ia segera lenyap.Â
Kekira sesederhana itulah menulis. Menulis segala apa yang tertangkap pancaindra. Menulis menguraikan apa yang kita lihat, dengar, cium/hirup, raba dan rasa. Kita dapat menulis semua itu dengan cara dan gaya yang kita sanggupi. Maka tidak perlu lagi bingung dan bertanya: Mau tulis apa?
Tabe!Â
Tilong-Kupang, NTT
Jumat, 16 Juli 2021 (23.00 wita)