Mohon tunggu...
Money Pilihan

"Good Urban Governance" demi Terwujudnya Kota Berkelanjutan di Indonesia

28 Maret 2018   05:11 Diperbarui: 28 Maret 2018   06:33 2030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
World's Most Liveable city: Melbourne (theculturetrip.com)

Kota memang memiliki daya tarik tersendiri bagi penduduk, baik yang berada di pedasaan maupun kota-kota kecil di sekitarnya untuk datang maupun menetap di kota tersebut. Kota juga dianggap memiliki kehidupan sosial yang lebih maju dengan fasilitasnya yang memadai.  

Salah satu permasalahan perkotaan adalah tingginya tingkat urbanisasi yang tinggi. Urbanisasi sendiri terjadi karena adanya perpindahan penduduk yang berasal dari daerah yang lain dan menetap di sebuah kota tertentu. 

Menurut Rachbini dan Hamid (1994:114) proses urbanisasi terjadi akibat lahan dari pedesaan yang semakin menyempit dan upah yang diterima oleh petani tidak memadai/mencukupi kebutuhan sehari-hari serta akibat adanya konsentrasi lahan pertanian yang dikuasai oleh golongan elit di desa. 

Meningkatnya jumlah penduduk perkotaan telah berkontribusi menciptakan tekanan terhadap daya dukung perkotaan.

Kawasan perkotaan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi karena dinilai sebagai pusat kegiatan. Hal tersebut menyebabkan tingginya tingkat urbanisasi dan pertumbuhan penduduk di perkotaan ini menimbulkan masalah dalam pembangunan perkotaan. Permasalahan-permasalahan mulai bermunculan sebagai konsekuensi dari pusat kegiatan ini. 

Masalah-masalah tersebut diantaranya menurunnya kualitas lingkungan yang ditandai dengan tingginya tingkat pencemaran udara, menurunnya kualitas baku mutu air, buruknya manajemen pengelolaan sampah, serta meningkatnya jumlah permukiman kumuh di perkotaan akibat kurangnya ketersediaan perumahan yang layak bagi masyarakat menengah bawah. 

Pemerintah kota pada umumnya juga belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap ketersediaan pelayanan dasar, seperti air bersih dan sanitasi. Begitu juga halnya dengan penyediaan fasilitas umum, sosial, dan ruang terbuka hijau bagi publik untuk berkumpul belum sepenuhnya bisa dinikmati oleh sebagian masyarakat perkotaan. 

Ketiadaan ruang terbuka hijau di setiap satuan lingkungan permukiman, telah menjadikan anak-anak bermain di jalanan tanpa memedulikan keselamatan dirinya. Selain itu, dampak sosial, seperti kemiskinan dan kriminalitas, rendahnya rasa aman penduduk kota untuk beraktivitas, ikut mewarnai wajah kota-kota besar di Indonesia. Hal tersebut merupakan isu strategis yang harus diselesaikan supaya terwujud kota yang berkelanjutan.

Tanpa adanya penataan ruang sebagai salah satu bentuk kebijakan publik dalam pengelolaan pembangunan perkotaan maka pembangunan tidak akan dapat terlaksana. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU No.26 Th 2007). 

Ketersediaan rencana tata ruang wilayah sebagai hasil dari perencanaan tata ruang merupakan syarat utama bagi penyelenggaraan pembangunan wilayah, mengingat rencana tata ruang wilayah menjadi acuan dasar didalam penyelenggaraan pembangunan setiap sektor pengisi ruang kota tersebut. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). 

Disamping sebagai "guidance of future actions" pada dasarnya RTRW merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).

Kota berkelanjutan adalah kota yang memiliki areal yang lebih luas serta berada pada tatanan regional dan global dimana individu yang ada bertanggung jawab dan peduli pada aset-aset lingkungan yang ada, memperhatikan penggunaan sumber daya, dan meminimalisasi dampak kegiatan terhadap alam untuk meningkatkan kualitas lingkungan (WCED, 1987). 

Menurut (Aziz, 2016) kebijakan di setiap kota tidaklah sama dan untuk merespons perubahan yang terjadi memerlukan suatu strategi, program, dan kebijakan yang tepat melalui tata kelola perkotaan yang terencana dan terintegrasi. Menurut Bappenas, cita-cita Indonesia untuk mewujudkan sebuah kota yang berkelanjutan ini tentu harus bisa memenuhi kriteria livable, green, dan smart. 

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menyusun strategi pembangunan perkotaan, bahwa untuk menuju sebuah kota berkelanjutan, direncanakan melalui 3 tahapan. Pertama, bahwa pada tahun 2025, Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) akan terpenuhi sesuai dengan kota layak huni, aman, nyaman. 

Sedangkan, target kota hijau dan berketahanan iklim dan bencana akan terpenuhi di semua kota, akan dicapai tahun 2035. Sehingga, pada tahun 2045, 100% indikator kota cerdas yang berdaya saing dan berbasis teknologi akan terwujud di seluruh kota.

Berdasarkan UNHCS Habitat (dalam Latifa, 2013), Good Urban Governanceatau biasa dikenal dengan tata kelola perkotaan dapat didefinisikan sebagai upaya merespons berbagai masalah pembangunan kawasan perkotaan secara efektif dan efisien yang diselenggarakan oleh pemerintah yang akuntabel dan bersama-sama dengan unsur masyarakat. 

Disini ada beberapa prinsip yang selayaknya diterapkan yaitu keberlanjutan (sustainability), subsidiaritas (subsidiarity), keadilan (equity), efisiensi (efficiency), transparansi (transparency) dan akuntabilitas (accountability), keterlibatan masyarakat sipil (civic engagement) atau penduduk (citizenship), dan keamanan (security) dimana norma-norma ini saling tergantung dan saling memperkuat. 

Pada kuliah tamu yang dilaksanakan oleh Departemen PWK ITS dengan narasumber Ridwan Sutriadi, ST, MT, PhD seorang dosen jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITB berpendapat bahwa dalam tata kelola perkotaan terdapat 6 komponen yang harus dipertimbangkan (Pras Kusbiantoro), antara lain Planning Process, Competitivines, Infrastructure and system management, Land and Urban Form Management, Urban Institusional Management, dan Urban Space and Hinterland Management.

Tata kelola perkotaan (urban governance) semakin mengalami perkembangan di era otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 32 / 2004 otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk menga-tur dan mengurus sendiri urusan pemerinta-han dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Berdasarkan pengertian ini, maka otonomi daerah memberikan ruang dan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk berkreasi dan berinovasi dalam pengembangan dan pembangunan daerah yang berkelanjutan. Konsep otonomi daerah dianggap sebagai salah satu upaya peningkatan kreativitas daerah dalam mengembangkan daerahnya masing-masing yang berpotensi terhadap kemajuan Indonesia. 

Setiap daerah akan bersaing untuk memaksimalkan potensi kemajuan wilayahnya. Hal tersebut menyebabkan persaingan antar daerah sehingga menimbulkan kesenjangan akibat perbedaan kemampuan masing-masing daerah. Maka dari itu sistem otonomi daerah harus diimbangi dengan adanya kemitraan antar pelaku manajemen dan pembangunan kota. 

Pemerintah sebagai pihak yang mengatur dan melandaskan hukum serta kebijakan pembangunan, bertugas untuk menyediakan kebutuan dasar seperti infrastruktur. Selain itu kerjasama dengan pihak swasta atau private sector perlu adanya peningkatan karena swasta merupakan pihak yang memiliki modal finansial yang dapat bermanfaat bagi pembanganunan. 

Hal yang tidak kalah penting yakni bagaimana menjadikan penduduk sebagai subjek dalam pemangunan kota, karena pada dasarnya pembangunan ditujukan untuk masyarakat. Karena kurang memperhatikannya masukan dari masyarakat serta kegiatan pihak swasta yang melakukan pembangunan tanpa memiliki grand strategi yang jelas sesuai dengan peraturan akan menimbulkan masalah baru yang menjadi beban pemerintah dan masyarakat.

Upaya mewujudkan kota yang "berkelanjutan" tanpa dibarengi dengan usaha mengelola urbanisasi maka akan sulit dilakukan. Urbanisasi timbul akibat adanya perbedaan pembangunan yang signifikan serta pemenuhan kebutuhan dasar seperti infrastruktur dan fasilitas yang kurang. Penanganan dan pengendalian urbanisasi harus dilihat secara kewilayahan, tidak bisa secara parsial. 

Untuk itu, perlu upaya-upaya di tingkat nasional untuk menjalankan strategi dalam mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru ke luar Pulau Jawa, ataupun melalui penguatan pusat-pusat perkotaan yang sudah ada di luar Pulau Jawa. Upaya tersebut membutuhkan keseriusan dan komitmen pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta dukungan dan partisipasi dari masyarakat. 

Hal ini demi mewujudkan sebuah kota yang livable, green,dan smart, yang tak lain sebagai perwujudan sila Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

REFERENSI: 1, 2  

Pujiati, Amin., Sarungu, J. J., dkk. 2017. Kontribusi Kepemimpinan dan Tata Kelola Kota Terhadap Kota Berkelanjutan. Semarang. Seminar Nasional dan Call for Paper 2017 Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia Melalui Publikasi Jurnal Ilmiah dalam Menyikapi Permenristekdikti RI No.20 Tahun 2017, Bingkai Manajemen.

S, Bambang Utoyo. 2014. Pengaruh Prinsip Governance dalam Perencanaan Tata Ruang di Kota Metro Provinsi Lampung. Bandar Lampung. Sosiohumaniora, Volume 16 No. 3 November 2014: 257 -- 262.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun