Mohon tunggu...
yoha risna
yoha risna Mohon Tunggu... Guru - pembelajar

guru SMK yang baru belajar membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Perang Dunia Ketiga

12 Januari 2020   13:50 Diperbarui: 12 Januari 2020   14:12 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nama saya Perang Dunia Ketiga. Kata ayah, namaku diberikan padaku saat ayah ditugaskan ke Pulau Natuna Utara, mengamankan daerah perairan Indonesia. Oya, sebelum kamu bertanya, aku akan jelaskan padamu bahwa ayahku adalah seorang tentara Angkatan Laut yang sering ditugaskan di wilayah perairan seluruh Indonesia. Aku sendiri, bercita-cita mengikuti jejak langkah ayahku, kebanggaanku.

"Kamu sedang apa, Perang?" Temanku yang bernama Damai mengamati aktivitas yang sudah kulakukan berbulan-bulan. Memperbaiki lemari kayu tua milik ayahku. Lemari yang ayah buat dari kayu Kalimantan yang konon sudah langka.

"Aku sibuk." Aku menjawab tanpa memandang Damai. "Aku berperang melawan malas yang menggerogotiku." Aku mengambil gergaji yang tergeletak di lantai. Meletakkannya di meja. Damai dan aku berdiri di tengah tumpukan serbuk kayu, memandangi hasil kerjaku yang masih berantakan.

"Bukankah ini lemari yang dulu ada di gudang?" Damai berdecak kagum. "Sekarang hampit tak seperti lemari lagi."

Aku tertawa. "Lihat saja! Aku sudah rancang lemari terbaik."

Damai mengangguk. "Baik. Aku percaya."

"Bagus!" Aku menarik kursi dengan ujung kakiku, dan duduk tanpa peduli dengan debu tebal yang menempel di atasnya.

Damai ikut duduk setelah sibuk membersihkan kursi dengan sapu tangan miliknya yang sudah seminggu tak dicuci.

Aku mengerenyitkan hidungku. "Kamu tak beli sapu-tangan baru?"

Damai menoleh ke arahku, menggeleng. "Buat apa? Aku masih punya satu."

"Tapi sudah buruk!" Protesku sambil menutup hidung.

Damai tertawa.

"Lebih baik bicara tentang lemarimu!"

"Kenapa?" Aku, Perang melotot. Damai sudah berulang-kali membahas tentang lemariku. Kebanggaanku.

Damai mengangkat tangannya.

"Aku pikir kamu bisa belui lemari milikku. Murah. Bahkan lebih murah dari harga gergajimu."

Aku memandangnya curiga. "Ah, mana mungkin!"

"Benar! Aku tidak bohong!" Damai mengeluarkan brosur dari tas ranselnya. "Aku sudah jual lima lemari hari ini. Jadi, buatmu kuberi gratis!"

"Gratis!?"

Damai mengangguk. "Pak khalil, bosku bilang, aku bisa kasih lemari gratis padamu. Tapi.."

"Tapi..apa?!" Desakku. 

"Kamu harus berikan kayu lemari itu padaku." Damai menunjuk onggokan kayu yang tergeletak di lantai.

"Tapi, ayahku bilang, aku tak boleh jual atau berikan kayu itu pada siapa pun." Aku ragu. Mataku menatap lemari indah yang ada di brosur.

"Ayahmu tak akan tahu."

"Ayahku pasti tahu," bisikku. "Ayah sangat cinta lemari ini."

"Aku mengerti." Damai menepuk punggungku. "Tapi lihat keadaan lemari ini." Tangan Damai menunjuk kayu bekas lemari dengan sedih. "Bagaimana kamu menjelaskan pada ayahmu, Perang?"

"Bagaimana jika ayah bertanya?"

"Jawab saja, kamu sudah sulap lemari itu dengan lemari yang baru." Damai bangkit dari kursi. Menepuk lenganku. Aku, Perang merasa gelisah. Bagaimana ini?

"Pikirkan dulu. Kamu bisa menghubungiku nanti." Damai melangkah ke pintu. Ia menghitung sampai sepuluh, yakin Perang akan memanggilnya.

"Damai, sebentar!" Damai tersenyum dalam hati. Ia mendapati Perang memegang kepalanya.

"Kamu tak akan bilang siapa-siapa?" Damai menggeleng. "Kamu juga akan memberi kesaksian pada ayahku?" Damai mengangguk.

"Jangan khawatir." Damai mengeluarkan sepuluh lembar uang seratus ribu dari tasnya. Meletakkannya di tangan Perang. "Aku akan tambah uangnya nanti. Kamu bisa traktir ayah dan ibu makan di restoran."

"Ya." Aku memandang uang di tanganku. Damai mengeluarkan gawai dari sakunya, menelepon sopirnya. Beberapa saat kemudian kayu-kayu lemari tua ayah sudah tak ada. Damai pun sudah pulang ke rumahnya. Aku, Perang Dunia Ketiga berdoa bahwa namaku tak jadi doa. Sementara nun jauh di sana, ayah sedang tersenyum membayangkan hasil penjualan kayu langka yang ia simpan di rumah.

Bandarlampung, 12 Januari 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun