Perhutanan Sosial sudah mulai diwacanakan sejak 1999, tapi tak kunjung terealisasi. Pada 2007, program ini mulai direalisasikan, meskipun pelaksanaannya sangat minimalis.
Hingga 2014, akses kelola hutan oleh masyarakat baru tercatat sebesar 449.104 hektar. Baru setelah itulah, pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi melakukan akselerasi dan percepatan.
Tercatat sejak 2014 hingga 2020, izin perhutanan sosial meningkat drastis menjadi 4.067.705 hektar dengan total 870 kepala keluarga yang terlibat dalam pengelolaannya. Dan hari ini (Jumat, 21/02/2020), Jokowi kembali menyerahkan 41 surat keputusan (SK) untuk pengelolaan hutan sosial di Riau.
SK itu terdiri dari 21 SK Hutan Desa, 18 SK Hutan Kemasyarakatan dan 2 SK Hutan Adat, yang mencakup 73.670 hektar lahan hutan dan dikelola oleh 21.211 kepala keluarga.
Selain persoalan ekonomi, Perhutanan Sosial juga bagian dari upaya menjaga kearifan sosial. Pengelolaannya yang dilakukan secara berkelompok, mengharuskan para penerima manfaat untuk saling berkolaborasi dan bekerja sama satu sama lain.
Lembaga adat, lembaga desa, koperasi, kelompok tani, maupun kelompok sosial pengelola saling bersinergi untuk mengelola potensi hutan, sekaligus menjaga kelestarian hutan.
Kelompok Petani Boru Kedang di Flores Timur salah satu yang mengakui manfaat Perhutanan Sosial tersebut. Mereka bukan hanya menikmati hasil ekonomi dari hutan, tapi juga berhasil mempererat modal sosial masyarakat, sekaligus menjaga kelestarian hutan.