Mohon tunggu...
Yohannes Laurentius R
Yohannes Laurentius R Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hidup dari sisa harapan yang telah usang

Kalau ada waktu dimana aku di beri tahu itu adalah hari terakhir ku. Aku akan sempatkan untuk menulis, membaca dan memeluki orang yang kusayangi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Perasaan Inferior: Konsep Filsafat Teleologi oleh Alfred adler.

19 September 2021   13:13 Diperbarui: 24 Oktober 2021   19:38 4299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perasaan Inferior: Konsep Filsafat Teleologi oleh Alfred adler. Image: pinterest.com

"Kesendirian tidak membuat kita merasa kesepian. Kesepian adalah mengetahui bahwa ada orang lain, masyarakat, dan komunitas di sekitar kita, namun merasa benar-benar dikecualikan oleh mereka."

Alfred Adler berpendapat bahwa manusia adalah mahluk individual yang dimotivasikan oleh dorongan-dorongan sosial yang sudah dibawa sejak lahir. Adler menjadi pelopor dalam psikologi perkembangan yang mengemukakan teori bahwa kesadaran (consiusness) merupakan bagian yang penting dalam kepribadian (personality). Teori Adler yang bertentangan dengan Freud, terletak pada kesadaran individu yang berusaha memperbaiki kehidupannya dengan konsep bagaimana memahami seseorang yang bekerja keras dapat menjadi sukses, sedangkan bagi orang yang kurang bekerja keras dan tidak sukses merupakan tanggung jawab mereka dalam membuat kesalahan memilih.

Menurut Adler, manusia adalah mahluk sosial utama. Kebutuhan pemuasan seksual manusia hanya merupakan salah satu dari banyaknya kebutuhan dasar manusia, tergantung bagaimana manusia mengaturnya, merencanakannya dan melakukannya dalam aktifitas hidup sehari-hari. Konsep diri yang kreatif, mencari pengalaman-pengalaman yang akan membantu pemenuhan gaya hidup pribadi yang unik.

Teori filsafat Teleologi yang dikembangkan oleh alfred adler mengenai perasaan inferior ini berkaitan dengan ukuran nilai seseorang terhadap dirinya. Ukuran nilai yang dimaksudkan adalah perasaan bahwa seseorang tidak berharga, atau bahwa nilai dari dirinya hanya sebatas itu. Penafsiran terhadap diri kita itu bersifat subjektif. 

Sedangkan, Menyadur American Psychological Association, inferiority complex atau kompleks inferioritas, adalah kondisi psikis yang timbul karena rasa ketidakcukupan atau insecure yang berasal dari kekurangan fisik atau psikologis aktual maupun yang dibayangkan. Dan, kompleks superioritas adalah sebuah gangguan dalam jiwa seseorang yang dilatar belakangi oleh keinginan untuk mencapai kesempurnaan di dalam setiap aspek kehidupan orang tersebut. 

Penderitanya melakukan hal itu karena tidak ingin dipandang rendah oleh banyak orang, padahal belum tentu orang lain memikirkan hal yang sama. Seperti yang Adler katakan, perasaan inferior bisa menjadi pemicu bagi kerja keras dan pertumbuhan seseorang. Misalnya, kalau seseorang memiliki perasaan inferior berkenaan dengan pendidikannya, lalu memutuskan, Aku tidak punya pendidikan tinggi, jadi aku hanya perlu berusaha lebih keras dari yang lain, itulah arah yang diharapkan. 

Kompleks inferioritas, di sisi lain, merujuk pada kondisi yang mulai menjadikan perasaan inferiornya sebagai alasan. Jadi, seseorang berpikir, Aku tidak punya pendidikan tinggi, jadi aku tidak bisa sukses, atau aku tidak tampan, jadi aku tidak bisa menikah. 

Ketika seseorang bersikeras memakai logika "A adalah situasinya jadi B tidak bisa dilakukan dengan cara seperti itu dalam kehidupan sehari-hari, itu tidak bisa dikategorikan sebagai perasaan inferior. Itu adalah kompleks inferioritas. Ini hanya tentang takut melangkah ke depan; juga bahwa kau tidak mau mengambil upaya yang realistis. 

Kau tidak ingin berubah sampai-sampai kau bersedia mengorbankan kesenangan mu saat ini. misalnya, waktu yang kau habiskan untuk bermain-main dan berkecimpung dengan hobimu. Dengan kata lain, kau tidak diperlengkapi dengan keberanian untuk mengubah gaya hidupmu. Akan lebih mudah jika keadaan tetap seperti apa adanya sekarang, sekalipun kau mungkin punya sedikit keluhan atau keterbatasan.

Bagaimana cara mengisi bagian yang hilang itu. Cara yang paling sehat adalah berupaya mengisinya lewat kerja keras dan pengembangan diri. Misalnya dengan mencurahkan perhatian pada studinya, terus-menerus berlatih atau lebih giat bekerja. Akan tetapi, orang-orang yang tidak diperlengkapi dengan keberanian pada akhirnya akan masuk ke kompleks inferioritas. Lagi-lagi, ini tentang berpikir, aku tidak punya pendidikan tinggi, jadi aku tidak bisa sukses. Dan ini menyiratkan kemampuanmu dengan menyatakan, "andai aku berpendidikan tinggi, aku bisa menjadi sangat sukses." 

Bahwa "aku yang sesungguhnya", yang kebetulan tersembunyi saat ini karena masalah pendidikan, sebenarnya superior. Seseorang menderita perasaan inferioritas yang kuat, ditambah lagi, dia tidak punya keberanian untuk menebusnya melalui model kerja keras dan pertumbuhan yang sehat. Meski begitu, dia tidak bisa mentoleransi kompleks inferioritas dari pemikiran A adalah situasinya, jadi B tidak bisa dilakukan. Dia tidak bisa menerima "ketidakbecusan dirinya". Di titik itu, dia berupaya menebusnya dengan cara berbeda, dan mencari jalan keluar yang lebih mudah. Dengan bersikap seakan-akan dirinya superior, dan menikmati perasaan superior yang semu.

Ada 2 tipe superioritas kompleks:

1. Adalah tipe orang yang senang membanggakan prestasinya. 

Seseorang yang senang pada kehebatannya di masa lalu, dan selalu mengingat-ingat kenangan saat dia menjadi paling bersinar. Mereka semua bisa dibilang punya kompleks superioritas. Mereka yang sampai membanggakan keadaan dengan lantang sebenarnya tidak memiliki keyakinan pada diri sendiri. Seperti yang diindikasikan dengan jelas oleh Adler, "Mereka yang suka membanggakan diri melakukannya semata karena merasa inferioritas". 

Kalau seseorang benar-benar yakin pada diri nya sendiri, dia tidak merasa perlu berbangga. Dia hanya melakukannya karena perasaan inferior yang sangat kuat. Dia makin merasa perlu memamerkan keunggulannya. Ada kekhawatiran bahwa kalau dia tidak melakukannya, tidak ada seorangpun yang akan menerima "apa adanya diriku". Ini adalah kompleks superioritas sepenuhnya.

2. Upaya membanggakan kemalangan diri sendiri.

Seseorang yang dengan bangga bicara tentang caranya dididik dan semacamnya; berbagai kemalangan yang menimpa dirinya. Kalau ada orang lain yang mencoba menghiburnya, atau menyarankan agar membuat sedikit perubahan, dia akan menolak bantuan tersebut dengan berkata, "Kau tidak mengerti perasaanku.". Orang-orang seperti ini akan berupaya membuat diri mereka "spesial" melalui kemalangan mereka, dan dengan satu fakta tunggal tersebut akan berupaya menempatkan diri di atas orang lain.

Fakta bahwa tubuhku pendek, misalnya. Katakanlah ada orang baik hati yang datang kepadaku dan berkata, "Itu tidak perlu dikhawatirkan," atau "Hal-hal semacam itu tidak ada hubungannya dengan nilaimu sebagai manusia." Dengan begitu, posisiku lebih superior dari yang lain, dan aku bisa menjadi istimewa. Ada cukup banyak orang yang berupaya menjadi "makhluk spesial" dengan bersikap seperti ini waktu mereka sakit atau terluka, atau menderita batin akibat patah hati.

Mereka memanfaatkan kemalangan mereka, dan mencoba mengontrol pihak lain dengan cara itu. Dengan mendeklarasikan betapa malang diri mereka dan betapa besar penderitaan mereka, mereka berupaya membuat orang-orang di sekitar mereka khawatir (kerabat dan teman mereka, misalnya), membatasi perkataan dan perilaku serta mengontrol orang-orang itu. Sama dengan tipe orang yang mengunci diri dikamar, berulang kali menikmati perasaan superior dengan memanfaatkan kemalangan mereka. 

Sedemikian rupa sampai-sampai Adler sendiri menunjukkan, "Dalam kebudayaan kita, kelemahan bisa jadi senjata dan yang sangat kuat dan ampuh". Tentu saja, perkataan seseorang yang pernah terluka "Kau tidak mengerti bagaimana perasaanku memang mengandung sedikit kebenaran. Memahami sepenuhnya perasaan orang yang sedang menderita adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan siapapun. Tapi, selama ia terus memanfaatkan kemalangannya untuk menjadi "istimewa", ia akan selalu membutuhkan kemalangan tersebut, sebagai senjata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun