Mohon tunggu...
Yohanes Marino
Yohanes Marino Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Wordsmith, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, Guru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teknologi

30 Juni 2016   10:11 Diperbarui: 30 Juni 2016   10:33 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita tak pernah tahu masa depan seperti apa yang akan kita jalani. Berbagai ideologi, cara pandang hidup dan inspirasi mengalir di depan kita layaknya sebuah sungai yang mengalir yang menghanyutkan segalanya yang mengapung di atas badannya. Aku sedang terjebak dalam ruangan yang seperti barak di mana orang-orang bekerja menatap laptop selama berjam-jam.  Mereka kadang juga tidak peduli mengenai diri mereka sendiri. Bekerja bagaikan mesin yang mungkin melupakan jangka waktu untuk diservis. Dalam bahasa ekstrimnya, kita semua diperbudak oleh kita sendiri.

Pernah suatu kali aku merenungkan bagaimana teknologi yang merupakan produk budaya menjadi penjajah bagi diri kita sendiri. Perlahan tapi pasti, generasi manusia dari tahun ke tahun semakin mengikuti teknologi yang dikembangkannya sendiri. Dengan sukarela kita diperbudak oleh produk yang kita ciptakan sendiri. Berapa orang di luar sana yang menghabiskan waktunya untuk menatap layar laptop dan telepon cerdas? Berapa jumlah anak-anak yang kurang memiliki waktu untuk menatap wajah orang tua mereka sendiri di rumah? Sederhana, tapi sangat sulit dilakukan, bahwa bekerja di era digital ini adalah pekerjaan yang menuntut untuk duduk dan diam dan tidak menelurkan produk produk kreatif.

Menjadi lebih miris ketika kita mengetahui bahwa bos-bos besar dari perusahaan teknologi seperti apple, Microsoft dan google yang melarang keras anaknya untuk menyentuh layar laptop ataupun perangkat (yang katanya) cerdas. Sedang anak kita sedang berkutat dan asyik bermain dengan telunjuk yang digeser-geser tanpa mengeluarkan bentuk kreatif fisik sama sekali. Ramalan yang dibuat oleh seorang fisikawan bernama Albert Einstein mulai terwujud. Ia meramalkan mengenai era dimana manusia mulai diperbudak oleh teknologi. Dimana jarak antar manusia secara fisik dapat dipangkas tetapi jarak hati manusia satu dengan yang lain semakin diperlebar. Merunut pada hukum ekonomi, segala sesuatu yang menuntut perubahan juga menuntut yang namanya pengorbanan. Dan ketika di era kita sekarang, yang kita korbankan adalah hal-hal afektif yang sungguh emosional.

Hubungan antar manusia semakin dibuat dalam bentuk digital. Dimana kita cukup mengobrol lewat aplikasi, yang katanya sosial, seperti whatsapp dan blackberry messenger, sedangkan kita tak pernah sedikitpun memahami bagaimana kerut kerut wajah teman kita ataupun reaksi secara fisik ketika kita berinteraksi secara langsung. Zaman ini adalah zaman dimana kita semakin memangkas jarak secara fisik tetapi memperlebar jarak secara afektif. Orang tua cukup menanyakan kabar lewat aplikasi telepon cerdas lalu mereka beranggapan bahwa tugas sosial mereka sudah selesai. Kita berada dalam situasi darurat dimana afektif mulai disingkirkan dari instansi-instansi dan interaksi sosial. Kita digerus jaman.

Bentuk lain dari era ini adalah berkurangnya penemuan-penemuan yang dilakukan oleh generasi millennia. Sebagai guru, saya mulai prihatin dengan kondisi ini, dimana murid-murid saya mulai kehilangan daya atau roh untuk berkreasi. Mereka kehilangan spirit untuk menunjukkan jati diri mereka. Mereka hanya masuk dalam tahap awal dalam berkreasi, yaitu mix and match. Mereka tidak sampai pada tahap menemukan jati diri dalam proses kreativitas. Bersyukurlah kita semua, karena pada era inilah generasi-generasi 90-an dan 80-an juga mulai bergerak. Kita lihat menteri pendidikan kita mulai menyadari mengenai pentingnya kreativitas dalam sekolah.

Anies Baswedan mulai merancang proyek yang bernama Gerakan Literasi Sekolah. Sebagai guru pula, ini adalah angin segar bagi saya, karena justru melalui proses literasi ini pula, anak-anak diharapkan bisa berproduksi dalam bentuk apapun, tidak hanya dengan bentuk tulisan. Jika menilik kembali pengalaman saya dalam menulis puisi, saya sangat terbantu dengan proses diri saya yang saya alami. Saya mengalami proses membaca yang cukup baik. Secara tidak sadar pula, saya telah memberikan referensi bagi diri saya untuk memproduksi sesuatu yang berbeda yang sudah ada. Mungkin bisa dalam produk yang memodifikasi bentuk sebelumnya ataupun menciptakan hal-hal yang sifatnya benar-benar baru.

Masalah  lain yang mungkin muncul adalah masalah pembinaan hati nurani. Dalam ideologinya, ki hadjar dewantara atau suwardi suryaningrat selalu mengatakan tiga hal yang paling penting dalam hidup manusia. Mereka adalah cipta, rasa dan karsa. Jika merunut apa yang telah dikatakan oleh ki hadjar dewantara, kita semakin menyadari bahwa manusia-manusia muda generasi ini memiliki karakteristik yang sangat menonjol dalam cipta dan karsa. Tetapi dalam sisi rasa, mereka kurang memiliki ruang, karena hampir seluruh relasi antar manusia mereka mulai dikonversi dalam bentuk digital dan data.

Mereka mulai tumpul dalam mengolah yang namanya rasa. Di sekolah pun mereka juga terlalu berkembang dalam cipta dan karsa. Refleksi saya ini berdasar  pada pengalaman saya berjumpa dengan generasi millennia yang sungguh sangat pasif dalam berpendapat. Ini adalah tugas bersama kita sebagai pendamping dari generasi millennia. Kita pulaalah yang harusnya tetap mewujudkan generasi millennia yang seimbang dari sisi cipta, rasa dan karsanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun