Mohon tunggu...
Yohanes Manhitu
Yohanes Manhitu Mohon Tunggu... Penulis - Murid abadi: penulis dan penerjemah

Saya adalah seorang penulis dan penerjemah dari Timor Barat (NTT) yang berdomisili di Yogyakarta. Bidang yang saya geluti adalah bahasa, sastra, sejarah, dan sosial budaya. Saya menulis dalam bahasa Indonesia, Dawan, Tetun Resmi (Timor-Leste), Melayu Kupang, Inggris, Prancis, Spanyol, Portugis, dan Esperanto. Silakan kunjungi blog khusus untuk karya tulis saya di http://ymanhitu-works.blogspot.com dan blog serba-serbi multibahasa saya di http://ymanhitu.blogspot.com. Salam,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cinta Versus Pesona Intelektual

5 Agustus 2020   22:19 Diperbarui: 5 Agustus 2020   22:39 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: freepik.com

Lalu di mana gerangan si Tamsil, yang sebelumnya sangat lengket bagaikan perangko? Si Tamsil menunjukkan empatinya dengan menjenguk dan menjaga Soneta di rumah sakit. 

Tetapi setelah tahu bahwa si Soneta harus berhenti kuliah selama dua tahun dan karena yakin bahwa prestasi akademis si Soneta pasti menurun drastis dan sulit dipulihkan, maka ia segera "mohon diri" dan "mundur secara teratur". Apa yang diharapkan Tamsil, diri si Soneta seutuhnya atau hanya satu titik dari samudra kehidupan si Soneta yang amat luas?

Ada lagi ilustrasi yang lain. Konon, Albert Einstein, pernah bertemu dengan Elvis Presley dan Sultan Hassanal Bolkiah, dari Brunei, dalam suatu kunjungan di Menara Eiffel. Maaf, karena dokumentasi yang kurang rapi, maka waktunya tak pernah diketahui. 

Pada pertemuan itu, karena didorong oleh kepedulian akan cinta yang terlalu berlandaskan kelebihan-kelebihan yang fana, mereka sepakat untuk mengadakan kampanye "Anti Cinta Karena Kelebihan Fana". Ketiga-tiganya mengimbau seluruh pria dan wanita untuk mencintai dengan melihat diri pribadi yang dicintai seutuhnya tanpa syarat (sans conditions).

Ikrar mereka unik karena dirumuskan dalam bentuk puisi pendek yang terdiri dari empat baris, dengan perincian sebagai berikut: judulnya dibacakan bersama; baris pertama dibacakan oleh Einstein; baris kedua oleh Elvis; baris ketiga oleh Sultan; dan, baris terakhir dibacakan bersama-sama. 

Versi asli puisi ini masih tersimpan dengan rapi di perpustakaan agung Nyi Roro Kidul, di kawasan Laut Selatan. Di sini penulis hanya menuliskan versi terjemahan bebasnya saja dari bahasa Lintasbuana, yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut:

IKRAR CINTA

Jangan aku dikau cintai karena isi kepalaku;
Jangan aku dikau cintai karena tampan rupaku;
Jangan aku dikau cintai karena berat pundi-pundiku.
Cintailah daku laksana seorang buta.
 

Penulis berpikir bahwa benar tidaknya kedua ilustrasi di atas tidak perlu dipersoalkan. Kita seyogyanya berusaha memetik makna yang ada di balik keduanya. 

Kita sungguh telah diajak untuk tidak mengukur kedalaman suatu samudra hanya dari satu tepi yang dangkal, yang mungkin sebentar lagi akan semakin dangkal karena perubahan gejala alam. Mari kita telusuri dan layari samudra itu sebelum kita memutuskan untuk "berkubang" di sana selamanya!

Tenyata mencintai dengan mengesampingkan kelebihan-kelebihan yang fana seperti tersebut di atas sulit untuk diwujudkan, kecuali bila kita memang sungguh-sungguh menon-aktif-kan fungsi mata tubuh kita dan hanya mengandalkan mata batin yang jarang kita fungsikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun