Mohon tunggu...
Yohanes Kafiar
Yohanes Kafiar Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Pemerhati Gejolak Sosial

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Harus Memilih (Part.1)

29 September 2022   00:55 Diperbarui: 4 Oktober 2022   01:06 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Tanah yang subur, air sungai yang jernih, kami hanya berpikir untuk bermain dan bersenang-senang." Sumber: Shrok Khmer/kibrispdr.org

“Aku akan menunggu dan menunggu. Jarak dan waktu akan menguji kesetiaanku padamu. Cintaku yang tulus menjadi energi dan kekuatan untuk melawan rintangan dan godaan. Aku yakin, pasti kau kembali, menjemputku, menyongsong masa depan.”

Kata-kata ini selalu menghantui pikiranku. Membuat aku merasa lelaki paling berdosa di muka bumi. Tepatnya sekitar sepuluh tahun yang lalu, kata-kata ini diucapkan oleh Endang Kusuma, wanita lugu jelita di desa tetanggaku di kampung halaman kami. Wanita yang sekelas denganku ini adalah teman bermain dan bercanda hampir di setiap kesempatan, entah di sekolah, di desa kami, bahkan juga di rumah kami. Hubungan kami sangat akrab. Boleh dikatakan kami adalah sahabat sejati. Dalam persahabatan ini, kami tak pernah mengenal apa yang disebut cinta. Mungkin begitulah pemikiran kami berdua pada saat itu. Tanah desa yang subur, ledeng air dan sungai yang mengalir jernih membuat kami hanya berpikir untuk bermain-main, bersenang-senang dan bersekolah.

Waktu cepat berlalu. Tak terasa aku sudah menamatkan pendidikanku di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Demikian pula sahabatku Endang Kusuma.  Anak-anak di desa kami pada umumnya menamatkan pendidikan di tingkat SMA. Mereka jarang melanjutkan ke perguruan tinggi, lantaran pekerjaan orang tua yang rata-rata hanya sebagai Petani. Kalau pun ada satu atau dua orang yang kuliah, kemungkinan besar orang tuanya guru atau militer. Guru atau militer biasanya kaum pendatang yang menjalani amanah tugas mereka di desa kami. Tapi ada juga segelintir orang pribumi desa yang berprofesi demikian atau ada pula yang bekerja sebagai perawat di pusat kesehatan masyarakat. Lebih dari itu pedagang asongan, petani lele dan buruh bangunan.

Meskipun ayahku seorang petani, aku masih beruntung, berkat kerja kerasku selama tiga tahun, aku selalu menjadi bintang kelas. Ya, aku meraih peringkat pertama sejak di bangku kelas satu hingga kelas tiga SMA. Alhasil, aku mewakili sekolah kami sebagai peserta program Afirmasi Pendidikan perguruan Tinggi (ADIK). Program Afirmasi/Adik berarti segala biaya kuliah dan biaya hidup kami ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Singkatnya, Aku dinyatakan lolos seleksi setelah menyelesaikan  tes di kabupaten. Aku harus bersiap diri merantau ke luar desa. Aku harus bisa meninggalkan kehidupan desa, tradisi lokal, dan karakter kekampungan yang masih melekat dalam diriku. Aku ditempatkan di Provinsi jawa Tengah, kota Surakarta.

“kamu harus rajin beribadah, disiplin, dan jujur, itulah kunci yang harus kau pegang ketika di tanah rantau,”kata ayahku. Suaranya agak berat. Kulihat seperti ada embun menempel di matanya. Embun itu menetes pelan-pelan membasahi pipinya yang kasar karena dilanda terik matahari di sawah. Ibuku hanya diam disamping ayah. mukanya tertunduk, ketika diangkat, kulihat wajahnya dibanjiri air mata. Dari empat bersaudara dalam keluarga, aku satu-satunya anak lelaki yang sulung, semua adikku perempuan. Mungkin inilah yang membuat ayah dan ibu sangat sedih melepas kepergianku. Aku mencium tangan ayah dan ibu. Ibu memeluk erat tubuhku dielus-elusnya rambutku. Kami berdua berlumuran air mata. Aku bergegas menuju teras rumah, menunggu jemputan. Mobil yang disediakan panitia Afirmasi (Adik) akan menjemput kami di rumah masing-masing.

Sekonyong-konyong tampak di depanku wanita yang sudah tak asing lagi, Endang Kusuma. Sahabatku ini, tak bisa melanjutkan pendidikannya karena keterbatasan ekonomi keluarga. Orang tuanya sebagai buruh tani tak mampu menjawab keinginannnya untuk kuliah. 

Melangkah gontai, layu, menuju teras rumah. Mukanya memerah seperti terkena sengatan lebah, dan terdengar tangisannya sedu sedan. “sungguh terlalu kau Bony, tidak kau kabari bahwa kau akan pergi kuliah.”ucapnya dalam keadaan tangis. Aku merasa bersalah. Ya, sebagai sahabat sejati seharusnya aku beritahukan rencana kepergianku. Tapi di sisi lain aku tak mau membuat sahabatku ini merasa kehilangan yang berkepanjangan. Sejujurnya aku pun merasakan kehilangan, namum aku tak bisa berkata-kata, rasanya tiada kata-kata yang mujarab sebagai obat di saat kita harus meninggalkan orang-orang terkasih.

Mobil jemputan memasuki pekarangan rumah. Sopir dan dua orang panitia mempersilahkan aku naik ke mobil. Aku mencium kening ketiga adikku yang masih kecil dan lugu. “abang belikan Ani cokelat ya? Pinta adikku yang paling bungsu. “Iya nanti abang belikan,”balasku singkat.

Kucium tangan ayah dan ibu, aku berjalan menuju pekarangan rumah. Endang berjalan disampingku, Bon! Boleh aku bicara sebentar? langkahku berhenti sejenak, kutatap wajahnya yang cuma sejengkal di hadapanku. Ia masih dalam keadaan terisak-isak. Ia berkata dengan suara pelan dan lembut,

“Aku akan menunggu dan menunggu. Jarak dan waktu akan menguji kesetiaanku padamu. Cintaku yang tulus menjadi energi dan kekuatan untuk melawan rintangan dan godaan. Aku yakin, pasti kau kembali, menjemputku, menyongsong masa depan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun