Mohon tunggu...
Yohanes Bosco Otto
Yohanes Bosco Otto Mohon Tunggu... Lainnya - PNS Penyuluh Agama Katolik Kantor Kementerian Agama Kota Pangkalpinang Babel

Berbuatlah mulai dari hal kecil

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Multikulturalisme dalam Perspektif Katolik

2 April 2023   13:04 Diperbarui: 2 April 2023   13:24 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MULTICULTURALISME DALAM PERSPEKTIF KATOLIK 

I. Pengantar

Wawasan=cara pikir, cara pandang, cara memahami, (yang kemudian mempengaruhi cara menghayati, cara bersikap dan cara bertindak).

Multicultural: multi artinya banyak dan bisa bermacam-macam; cultural dari kata culture artinya kebudayaan; cultural artinya yang berhubungan dengan kebudayaan. Paham multicultural dalam konteks pembicaraan ini, dalam arti sempit adalah multicultural itu sendiri=multibudaya, dapat pula dipahami dalam arti luas, yakni multi agama, suku, ras, pola pikir, latar belakang social, dll, atau yang hampir sama dengan istilah pluralitas, pluralisme (dekat dengan kemajemukan). Dalam materi ini kami lebih menggunakan pemahaman multicultural dalam arti luas, termasuk agama itu sendiri.

Perspektif artinya pandangan. Perspektif Katolik berarti dalam pandangan Katolik. Jadi, dengan materi ini, kami hendak menginformasikan cara pikir, cara pandang, cara paham, (yang kemudian mempengaruhi cara menghayati, cara bersikap dan cara bertindak) terhadap multicultural atau keanekaragaman budaya, agama dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya dalam pandangan Katolik atau menurut agama Katolik kepada anda semua sebagai pengajar dan pendidik.

II. Wawasan Multicultural Dalam Perpektif Agama Katolik

 A. Secara Biblis 

Dalam Perjanjian Lama: Allah menciptakan alam semesta dan manusia dalam keanekaragaman yang tidak dapat disangkal, diubah, direkayasa oleh siapa pun, termasuk guru agama. Keanekaragaman itu tidak hanya dalam segi alam tercipta, tetapi juga manusia itu sendiri. Manusia, pada awalnya saja sudah bermacam; kemudian dalam proses perkembangan menjadi bermacam-macam. Bermacam-macam karakter pribadi, latar belakang social, kebudayaan, agama dan lain-lain. 

Ini realitas, yang mau tidak mau harus diakui dan dihargai oleh semua pihak, sebab Allah sendiri, menurut keyakinan Katolik, tidak pernah menolak keanekaragaman, malah menghargai dan mencintainya. Dalam Perjanjian Baru, Gereja Katolik berpedoman pada sikap Yesus sendiri. Semasa hidup-Nya di dunia, Yesus menyapa dan bersahabat dengan siapa saja, apa pun latar belakang social, budaya, keyakinan, agamanya. 

Misalnya, Yesus menyapa dan berdialog tentang keselamatan dengan wanita Samaria (Yoh 4:1-42). Oleh orang Yahudi, bangsa Samaria dianggap bangsa yang setengah kafir. Yesus menolong perwira Romawi dari Kapernaum yang hambanya sakit (Mat 8:5-13). Bangsa Romawi pada waktu itu adalah bangsa yang menyembah dewa-dewa. Yesus juga mendengarkan permohonan wanita Siro-Fenesia yang anak perempuannya kerasukan roh jahat. 

Wanita ini adalah orang asing dari suku-suku penyembah berhala (Mrk 7:24-30). Yesus tidak mempersoalkan agama, tetapi belas kasih dan persaudaraan. Untuk menegaskan sikap-Nya itu Yesus pernah menceritakan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37). Orang Samaria itu sanggup menjadi sesama bagi orang lain yang menderita, tanpa memandang asal-usul dan latar belakang hidup, dan kebudayaan serta agamanya. 

Orang yang berbeda suku, agama, cara beribadah, dan berbeda keyakinannya ditolongnya, dikasihi sepenuh hati, dengan segenap jiwa dan akalbudinya. Itulah persaudaraan sejati manusia sesama makhluk ciptaan Tuhan. Persaudaraan sejati "tidak dibatasi" oleh ikatan darah, suku, agama, kebudayaan, dll. Setiap manusia siapa pun dia sungguh harus dikasihi sebagai saudara dan atau sesama.

 B. Menurut Magisterium Gereja Katolik

Gereja mengajarkan kepada umatnya, bahwa multicultural adalah realitas yang menunjukkan keagungan Allah, Sang Pencipta. Coba kita bayangkan, andaikata Allah hanya menciptakan semua yang ada dengan "satu" jenis, warna, budaya dll atau dengan kata lain tidak dapat menciptakan keanekaan, maka di mana letak "keagungan, kemahakuasaan, dan sifat-sifat Allah lainnya yang luar biasa itu?"Selanjutnya Gereja mengajarkan bahwa memiliki keunikan tersendiri adalah hak asasi yang didasari oleh martabat manusia yang diciptakan oleh Allah sebagai gambar-citra-Nya sendiri (Dignitatis Humanae 1-2).

Gereja Katolik mengakui dan menghargai eksistensi semua bangsa sebagai satu masyarakat yang mempunyai satu asal, sebab Allah menghendaki segenap umat manusia yang beranekaragam suku, bangsa, bahasa, budaya, agama dll mendiami seluruh muka bumi. Semua juga mempunyai satu tujuan terakhir, yakni Allah, yang penyelenggaraan-Nya, bukti-bukti kebaikan-Nya rencana penyelamatan-Nya meliputi semua orang, sampai para terpilih dipersatukan dalam Kota Suci, yang diterangi oleh kemuliaan Allah; di sana bangsa-bangsa akan berjalan dalam cahaya-Nya (Nostra Aetate 1).

Persaudaraan semesta tanpa diskriminasi: "Tetapi kita tidak dapat menyerukan nama Allah Bapa semua orang, bila terhadap orang-orang tertentu, yang diciptakan menurut citra-kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara. Hubungan manusia dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia saudaranya begitu erat, sehingga Alkitab berkata:

Barangsiapa tidak mencintai, ia tidak mengenal Allah" (1 Yoh 4:8). Jadi tiadalah dasar bagi setiap teori atau praktek, yang mengadakan pembedaan mengenai martabat manusia serta hak-hak yang bersumber padanya antara manusia dan manusia, antara bangsa dan bangsa. Maka Gereja Katolik mengecam setiap diskriminasi antara orang-orang atau penganiayaan berdasarkan keturunan atau warna kulit, kondisi hidup atau agama, karena hal itu berlawanan dengan semangat Kristus (Nostra Aetate 5).

Gereja Katolik mengakui dan menghargai realitas multicultural, termasuk keanekaragaman agama, sebagai nilai yang melekat pada martabat pribadi manusia; bahkan mengupayakan agar ada wadah pendidikan baginya (GS).

III. Usaha-Usaha Untuk Membangun Persaudaraan Sejati Antar Pemeluk Agama Yang Multicultural.

 A. Usaha-Usaha Untuk Menghindari Kerusuhan 

1. Kita berusaha agar agama tidak diperalat demi kepentingan politik dan ekonomi.

2. Kita mengambil sikap untuk menjauhkan diri dari setiap provokasi yang muncul dari fanatisme buta.

3. Kita menjaga agar tidak terjadi pencemaran terhadap symbol-simbol agama mana pun.

 B. Usaha-Usaha Positif Mengadakan Berbagai Bentuk Dialog dan Kerjasama.

1. Dialog Kehidupan. Dialog dalam kehidupan harian bersama semua orang yang dijumpai yang dilakukan bukan saja demi tuntutan sopan santun dan etika pergaulan, tetapi juga tuntutan iman kita.

2. Dialog Karya. Dialog dalam rangka kerjasama demi kepentingan bersama atau kepentingan yang lebih luas dan luhur. Kita bekerja sama dalam kegiatan social kemasyarakatan, kegiatan social karitatif, kegiatan rekreatif, dsb.

3. Dialog Iman. Dalam hidup beriman kita dapat saling memperkaya, saling belajar, saling meneguhkan, walaupun kita berbeda agama. Ada nilai-nilai iman yang bersifat universal yang dapat didialogkan. Tetapi ada juga hal-hal positif yang meskipun berbeda tetapi dapat dijadikan masukan bagi agama lain.

C. Umat atau Masyarakat Katolik hendaknya menjadi inisiator, fasilitator, agen informasi usaha-usaha positif mengembangkan wawasan multicultural dalam membangun kerukunan umat beragama, bukan menjadi provokator yang negative.

IV. Dialog Umat Beragama Menurut Gereja Katolik (sebagai Salah Satu Upaya Peningkatan Wawasan Multicultural)

 "Melangkah Menuju Dialog"

Dewasa ini dialog agama-agama terasa amat kuat pengaruhnya, merambah dan mewarnai manusia universal. Sebab gerakan praksis dialog dengan agama-agama lain telah, sedang, dan pasti akan dirintis di mana-mana mulai dari tingkat yang paling kecil keluarga, kampung, dan desa sampai tingkat yang lebih luas nasional dan internasional. Dengan praksis semacam itu, umat beragama semakin hari semakin melangkah menuju ciri khas penghayatan iman yang baru: menyapa, terbuka (inklusif), dialogis.

Dalam Kalangan Gereja Katolik, ciri khas penghayatan iman yang demikian itu dijiwai semangat pembaharuan Konsili Vatikan II, yang menekankan kehadiran Gereja sebagai tanda sekaligus sarana kesatuan mesra manusia dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia (Lumen Gentium/LG 1). 

Paham ini memiliki konsekuensi teologis baru, yaitu bahwa semua manusia dipanggil menjadi Umat Allah yang baru (LG 13), namun tidak semua tergabung dan terarah kepada-Nya dengan cara yang sama (LG 15 dan 16). Sejauh hidup mereka menampilkan segi-segi kesatuan umat manusia dengan Allah dan persatuan dengan sesamanya, mereka juga telah menghadirkan keselamatan itu sendiri. Pandangan di atas memberikan arus perkembangan positif dalam hidup Gereja yang melangkah dan menggalang dialog dengan umat beragama lain untuk bersama-sama mewujudkan kesatuan umat manusia dengan Allah dan persatuan antarmanusia.

Gaudium et Spes (GS) misalnnya melukiskan bagaimana Gereja masuk ke dalam suatu hubungan mesra dengan seluruh keluarga bangsa manusia, solider dan empati dengan pengalaman duka, kecemasan, kegembiraan, dan harapan mereka. Gereja sekaligus mengajak umat manusia untuk menjalin kerjasama dan dialog. "Segala sesuatu yang telah kami katakan mengenai martabat pribadi manusia, mengenai paguyuban manusia dan mengenai arti mendalam dari usaha manusia merupakan dasar bagi hubungan Gereja dan dunia serta dasar bagi dialog antara mereka" (GS 40).

Nostra Aetate: tanpa ragu memandang positif agama-agama lain, seraya mencari segi-segi yang dapat mengantar ke dialog dan rekonsiliasi. Nostra Aetate merupakan pertanggungjawaban teologis atas pandangan positif Gereja mengenai kehendak Allah untuk menyelamatkan semua orang tanpa kecuali. Karena itu, Gereja terpanggil untuk memajukan persatuan dan kasih di antara umat manusia. Dalam pengamatan Konsili Vatikan II, bangsa-bangsa telah menyadari diri sebagai suatu masyarakat, yang sedang bergerak dan mempunyai tujuan akhir yang sama dan satu, yakni Allah.

Dialogue and Mission (1984): Memberi gagasan akan terciptanya dialog kehidupan, yang diperuntukkan bagi semua orang (DM 29, 30); dialog karya, yang dimaksudkan untuk menjalin kerjasama dalam memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan kebebasan, sekaligus membina kedua belah pihak yang berdialog melupakan sejarah masa lampau yang kurang baik (DM 31, 32);

dialog para ahli, yang dapat mengantar kepada usaha untuk saling memahami dan menghargai nilai rohani masing-masing (DM 33, 34); dialog mengenai pengalaman keagamaan, yang merupakan tingkat paling tinggi sekaligus dapat mengantar kepada pencapaian nilai-nilai rohani dan cita-cita rohani manusia (DM 33).

Ensiklik Redemptoris Missio (1990): menegaskan bahwa dialog dipahami sebagai metode dan sarana untuk saling memperkaya dan saling mengenal (RM 55).

V. Beberapa Syarat Prinsipil Dialog

1. Dialog Menuntut Keseimbangan Sikap: bersikap seimbang, tidak boleh tidak jujur, menghindarkan kecenderungan untuk mengkritik, sekalipun didukung oleh kutipan-kutipan Kitab Suci atau berdasar wahyu tertulis, sikap terbuka, mau mendengarkan, tidak egois, tidak berprasangka terhadap perbedaan-perbedaan yang muncul, harus dipupuk dan diupayakan persahabatan yang mantap, dicegah kecenderungan menganggap diri paling benar dan rendah hati, penuh kasih.

2. Dialog Meminta Kemantapan dan Menolak Indiferentisme: Dialog yang baik, tidak mungkin dijalankan dalam kerapuhan dan keraguan, tidak bersifat melemahkan melainkan memperdalam dan memantapkan iman, semakin menyadari identitas diri/kelompok dan iman masing-masing mendapat dimensi baru, terbuka dan positif terhadap agama-agama lain, harus dihindari dan dibuang sikap-sikap indifferentism, yakni pandangan atau sikap acuh tak acuh dan menggampangkan sekaligus menyederhanakan pandangan tentang agama-agama sebagai sama saja semuanya.

3. Dialog Tidak Menghendaki Teologi Universal: Memang tidak ditemukan larangan itu secara tegas, namun dari penyelidikan pandangan dokumen-dokumen sejak Ecclesiam Suam (1964) sampai Pasca Konsili Vatikan II di atas, dijumpai bahwa dialog agama-agama dalam paham Gereja Katolik jelas tidak atau kurang menghendaki usaha-usaha untuk me-universal-kan teologi dari agama-agama yang terlibat dalam dialog.

Gereja justru mengandaikan bahwa keunikan teologi masing-masing agama yang terlibat dalam dialog (dialog teologis), bila dipertahankan dan dikembangkan, malah sangat saling memperkaya satu sama lain. Gereja tidak menghendaki teologi universal tentang agama-agama, sebab dapat membawa kecenderungan sikap indiferen. Di lain pihak Gereja juga tidak menghendaki keanekaragaman pandangan teologis dari agama-agama menjadi sumber pemecah belah kesatuan umat manusia. Kesatuan umat manusia tidak bisa dikorbankan demi alasan kepentingan agama.

VI. Beberapa Kesulitan Dialog

  • Kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang agama lain secara benar dan seimbang akan menyebabkan kurangnya penghargaan dan sekaligus akan mudah memunculkan sikap-sikap curiga yang berlebihan.
  • Perbedaan kebudayaan karena tingkat pendidikan yang tidak sama;
  • Faktor-faktor social politik dan beban ingatan traumatis akan konflik-konflik dalam sejarah.
  • Merasa diri paling benar atau paling sempurna, sehingga memunculkan sikap-sikap defensive dan agresif.
  • Kurang yakin terhadap nilai-nilai dialog antaragama.
  • Kecenderungan untuk berpolemik bila mengungkapkan keyakinan gagasannya.
  • Bertumbuhnya materialisme, sekularisme, sikap acuh tak acuh, banyak sekte fundamentalis.
  • Sikap tidak toleran yang kerap diperparah oleh factor-faktor politik, ekonomi, ras, etnis, dan aneka kesenjangan lainnya.

 VII. Penutup

Kesadaran multicultural hendaknya ditumbuhkan dalam diri umat beragama pada umumnya dan pemimpin umat pada khususnya, termasuk guru agama. Dengan kesadaran multicultural dimaksudkan proses menuju penyadaran diri akan realitas plural atau keberagaman culture, agama, suku, dll sebagai sesuai yang indah dan menyenangkan serta saling memperkaya. Kesadaran multicultural berakar dalam pengalaman eksistensial, kehidupan bersama dengan saudara-saudara lain. 

Kesadaran ini hendaknya dihayati secara mendalam sebagai suatu nilai hidup yang amat berharga untuk menciptakan persaudaraan sejati dalam perbedaan. Oleh karenanya, umat beragama harus melenyapkan kecanggungan dan keraguan untuk berpartisipasi atau terlibat secara wajar dalam kehidupan konkret, menumbuhkan persaudaraan dan kerjasama dengan siapa saja, mengusahakan cita rasa dialog dalam hidup. Sekaligus menyingkirkan sikap-sikap exclusive, mengikis prasangka dan curiga, sambil terus menerus memupuk kesediaan untuk mengampuni tanpa syarat.

Suatu agama yang menolak keberadaan masyarakat yang pluralis telah menghukum diri masuk ke dalam isolasi yang kerdil, sebab dengan adanya suatu masyarakat manusiwi yang menyeluruh dituntut pula adanya pluralitas tingkat pemikiran, pilihan etika, kreativitas budaya, dan perspektif keagamaan (Prof. Ary Roest Crollius, Jakarta, Kompas, Jumat 5 Agustus 1988).

Kepustakaan:

1.   Dokumen Konsili Vatikan II (Dokpen KWI), Tr. By Hardawiryana, R. SJ, Penerbit Obor, Jakarta, Cetakan VII, 2003.

2.   Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik, FX. E. Armada Riyanto, CM, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun