Tak dapat dipungkiri bahwa sosok pemimpin yang dihasilkan melalui proses pemilihan kepala desa tentu membawa dampak lansung bagi proses perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan desa. Dalam tataran ini, banyak kepala desa yang lahir dari praktik politik primodial yang pada kenyataannya tidak bisa berbuat banyak bagi pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan desa.Â
Hal ini disebabkan karena masyarakat memilih bukan berdasarkan perhitungan rasional (loyal atau tidak, jujur atau tidak, dapat dipercaya atau tidak, mampu atau tidak) melainkan memilih berdasarkan preferensi Primodialisme yang tinggi ( dia om saya, dia keluarga saya, dia satu suku dengan saya).Â
Aktualisasi politik semacam ini tentu memberi luka bagi proses demokrasi di Indonesia terlebih khusus di desa-desa. Selain memberi pengaruh buruk bagi proses pelaksanaan pemilihan kepala desa, praktik politik primodial  dapat mengancam proses pembangunan desa yang mengakibatkan pembangunan nasional menjadi terhambat.Â
Ancaman itu terwujud di dalam ruang kekuasaan, di mana jabatan kepala desa diakusisi dan dijadikan alat untuk "memukul" kelompok lain, misalnya melalui program-program desa yang lebih mendukung kelompok atau golongannya, KKN, serta ketidakmerataan pembangunan di sekor ekonomi fisik, seperti jalan, jembatan dan akses terhadap air bersih. Hal-hal semacam ini bukan tidak mungkin terjadi. Sebab pemimpin yang lahir dari budaya priomodialisme yang tinggi tentu berpotensi memunculkan penyalagunaan kekuasaan, akibat dari realitas perpecahan dan dendam politik di masyarakat.
Memilih oleh karena faktor primodial hemat penulis merupakan gaya politik lama yang harus diubah ke dalam suatu bentuk pemahaman dan praktik politik yang demokratis. Di mana, kebebasan di dalam sudut pandang dan pilihan politik sangat dihargai demi melahirkan bibit-bibit pemimpin yang unggul dan loyal terhadap kepentingan masyarakat umum.