Mohon tunggu...
Yohanes Apriano Dawan Fernandez
Yohanes Apriano Dawan Fernandez Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang putra daerah yang saat ini menetap di kota industri yang hirup pikuk. Terkadang hal kecil menjadi inspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Miskomunikasi Jawa-NTT, Culture Shock Mahasiswa Perantau

29 Februari 2012   23:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:43 1516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_174302" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/wantaniaanantika.blogspot.com"][/caption]

Ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di tanah Jawa--tepatnya 12 tahun lalu--sejujurnya hati saya sangat berdebar-debar karena ingin merasakan seperti apa pengalaman baru ini. Pengalaman baru karena selama 18 tahun saya lahir dan tinggal di NTT--meski berpindah-pindah kota--dan baru kali ini keluar dari provinsi tercinta itu. Oleh karena pengalaman baru maka saya tidak memiliki gambaran utuh tentang Jawa--orang NTT menyamakan Jakarta atau Sunda sama dengan daerah lain di Jawa--maka saya hanya mengandalkan layar kaca dan penggalan cerita orang tentang pulau Jawa.

Bermodalkan kakak perempuan yang telah 2 tahun berkuliah di Yogyakarta, maka saya pun berangkat ke tanah Jawa dengan menumpang kapal Pelni yang menghabiskan waktu 3 hari 2 malam. Saya menikmati perjalanan ini meski kapal harus menyinggahi Makasar dan Kalimantan Selatan sebelum mengarungi laut Jawa menuju pelabuhan tanjung perak Semarang. Dari Semarang kami--saya, keluarga dan teman--berangkat menuju Yogyakarta menggunakan travel musiman.

Perjalanan yang melewati Ambarawa, Magelang, Muntilan hingga Yogyakarta membuat saya sangat berantusias melihat daerah-daerah yang dilewati. Mungkin agak "norak" tapi sepanjang perjalanan antar propinsi ini jarang terlihat adanya hutan seperti yang sering saya temui di NTT. Di NTT kita pasti melewati belantara hutan atau sabana yang panjang jika menuju ke kabupaten lainnya, namun hal berbeda di tanah Jawa. Kota sepertinya sambung menyambung, dan terkadang saya bingung apa ini masih kota yang sama atau sudah berbeda. Kota kecamatan tetapi terlihat ramai seperti kota kabupaten di NTT sehingga saya selalu berdecak kagum. Terkadang pengalaman ini membuat saya merasa geli, namun disparitas pembangunanlah yang membuat saya merasa dan bertingkah seperti ini.

Tengah malam kami tiba di Yogyakarta--kapal singgah di Tanjung Perak malam hari--dan mata saya tak pernah berkedip melihat lampu yang terang benderang di sepanjang jalan, perempatan dan sudut-sudut kota jogja. Jalan Magelang-Monjali-Mangkubumi dan jalan-jalan lainnya di Yogyakarta kami lewati menuju ke arah kos kakak saya di jalan Parangtritis. Perjalanan pertama yang sungguh mengesankan dan saya tidak sabar ingin menjelajahi kota ini.

Singkatnya beberapa bulan kemudian saya diterima sebagai mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan pengalaman baru saya alami selama kuliah. Saya memiliki beberapa teman orang Jawa dan daerah lain di Indonesia, namun ada juga beberapa teman yang juga berasal dari NTT. Keuntungan memiliki teman dari NTT adalah saya tidak merasa konyol sendiri jika salah mengucapkan bahasa Indonesia--beberapa kalimat dalam bahasa Indonesia memiliki pemahaman yang berbeda antara orang NTT dan orang Jawa-- sehingga "malu" ditanggung bersama.

Salah satu kendala yang dialami adalah masalah bahasa, meski menggunakan bahasa Indonesia tetapi dialek kami jauh berbeda. Awalnya saya masih merasa janggal mengucapkan kata ngga sehingga saya sering menggunakan kata tidak dalam perbincangan dengan teman-teman yang berasal dari Jawa atau daerah lainnya. Penggunaan kata kamu pun sungguh asing bagi saya yang sering menggunakan kata kau, apalagi kata aku yang terdengar sangat manja dibandingkan dengan saya. Begitu pun dengan kata-kata lainnya yang menurut teman-teman sangat baku seperti Ejaan Yang Disempurnahkan (EYD). Cukup sulit beradaptasi dengan gaya bicara sehari-hari di Yogyakarta karena kami di NTT memiliki bahasa daerah yang berebeda-beda sehingga sering menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. Dalam proses adaptasi ini saya--juga teman-teman yang lain--sering mengalami miskomunikasi dengan teman-teman yang berasal dari Jawa.

Saya pernah menelepon seorang seorang teman untuk menanyakan tugas kelompok, namun sebelumnya berbasa basi dengan bertanya "kamu lagi buat apa?". Teman saya pun menjawab "buat apa? ngga lagi buat apa-apa", padahal pertanyaan tersebut sama dengan pertanyaan "kamu lagi ngapain?" Maka jawabannya bisa lagi nonton tv, tiduran atau aktivitas yang lainnya. Ternyata pertanyaan saya dikira artinya apakah dia sedang membuat sesuatu, entah kue, lukisan atau objek lainnya.

Pada kesempatan yang lain ketika kami mengikuti acara makrab jurusan di Kaliurang Yogyakarta, teman saya yang juga berasal dari NTT merasa kesal karena banyak teman yang menghalangi ia saat sedang menonton televisi. Teman-teman yang menghalangi pun ditegurnya dengan berkata "hei jangan pele!". Saya dan beberapa teman yang berasal dari NTT langsung tertawa mendengar kalimat tersebut karena "pele" bukan bahasa Indonesia, bukan juga bahasa salah satu daerah di NTT namun semua mayarakat NTT memahami dan sering menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu yang "terhalang atau menghalangi". Hal ini membuat teman saya tersebut menyangka bahwa "pele" adalah bahasa Indonesia sehingga ia terus mengucapkannya dan ia pun tetap dihalangi karena tidak ada yang mengerti. Banyak hal yang lucu ketika kami mengucapkan bahasa Indonesia namun dengan dialek yang berbeda, misalnya kesulitan membedakan pengucapan e (pepet) dan é (taling) sehingga hampir semua kata dengan vokal e selalu kami ucapakan dengan é (taling) seperti teman-teman yang berasal dari Batak.

Bahasa Indonesia saja sering menyebabkan terjadinya miskomunikasi, apalagi jika komunikasi dalam bahasa Jawa. Mengenai hal ini saya pernah diajak seorang teman--yang merupakan warga yogyakarta asli--untuk berkunjung ke rumahnya di daerah Bantul Yogyakarta. Oleh karena waktunya maka siang maka saya pun diajak makan bersama. Lauknya cukup menarik karena ada ikan bandeng dan sayur nangka yang cukup saja gemari. Setelah berkumpul di meja makan, ibu teman saya mempersilahkan dengan mengatakan "silahkan mas makan ala kadarnya, ada iwak bandeng sama ini jangan gori" sambil menunjuk ke arah ikan bandeng dan sayur nangka buatannya.

Mendengar ucapannya saya menjadi ragu untuk memakan sayur nangka sehingga saya hanya mengambil nasi dan ikan bandeng saja. Saya ragu karena beliau mengatakan jangan gori ketika menunjuk ke arah sayur nangka yang artinya dalam bahasa daerah saya adalah jangan gigit. Jika sayur nangka tersebut jangan digigit maka bagaimana saya memakannya? apakah langsung ditelan? Tapi beliau pasti tidak tahu bahasa daerah saya, mungkin ada maksud tertentu namun saya tidak memahaminya dan terus bertanya dalam hati. Oleh karena itu, saya tidak memakan sayur tersebut dan ternyata beliau sadar akan hal ini. "Kok ga dimakan sayurnya mas? Ga suka makanan kampung ya?" tanya ibu teman saya. Saya merasa tidak enak karena sebenarnya saya menyukai sayur ini dan lebih baik bertanya, "maaf tadi kata ibu jangan gori jadi saya ga makan bu. Jangan gori di tempat saya artinya jangan gigit bu, jadi saya bingung makannya gimana?" Jawaban saya membuat mereka tertawa dan ibu teman saya langsung menjelaskan, "O00...maaf mas jangan itu bahasa jawa, artinya sayur. Kalo gori itu nangka jadi sayur nangka, bukan jangan digigit." Mendengar penjelasan tersebut, saya pun ikut tertawa bersama mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun