Mohon tunggu...
Yogi Wibowo
Yogi Wibowo Mohon Tunggu... Swasta -

just a simple person

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengangkat Karakter Perempuan Indonesia Lewat Film Kolosal

31 Mei 2017   12:15 Diperbarui: 31 Mei 2017   12:41 2505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Swastika Sedang Memberikan Pemaparan. Dok.pribadi

Hari Minggu adalah hari yang cocok buat bermalas-malasan atau di rumah seharian leyeh-leyeh sambil menonton TV. Namun tidak untuk hari Minggu tanggal 6 Mei Lalu. Kebetulan ada sebuah acara diskusi menarik yang digagas oleh Kompasianers Only Movie enthusiast Klub (KOMIK). Yang merupakan wadah komunitas Kompasiana Pecinta Film. Acara berlangsung di Kopitiam, Setiabudi Building yang berada di kawasan utama perkantoran Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

Acara kali ini cukup unik karena menggandeng Bank Danamon yang juga ikut memperkenalkan produk layanannya kartu “Danamon Flazz” dan mengajak semua peserta yang hadir untuk mencicipi pengalaman menggunakan kartu tersebut.

Tema yang dibawakan pada acara tersebut adalah "Saatnya Sineas Perempuan Pegang Kendali dalam Kancah Film Nasional". Acara yang dipandu oleh moderator Dewi Puspa, ini menghadirkan pembicara utama Swastika Nohara yang dikenal sebagai penulis naskah film/ skenario dan Balda Fauziyah yang berprofesi sebagai blogger film.Pembicaraan memang mengkhususkan soal mengangkat peran perempuan dalam film Indonesia.

Di Awal Diskusi, Swastika (Tika) memaparkan Perempuan Indonesia mulai bermunculan dalam film nasional sudah sejak lama. Misalnya dulu muncul nama-nama seperti Roekiah (1937) dalam lakon Terang Boelan (Het Eilan der Droomen) dan ANIF (Algeemene Indie Film Syndicaat). Kemudian Titien Sumarni dalam Seruni Salju (1951) yang populer dijuluki Marilyn Monroe' nya Indonesia. Memasuki era tahun 50-an, muncul film Tiga Dara, kita juga mengenal nama-nama sebut saja seperti Citra Dewi, Mieke Wijaya dan Indriati Iskak dalam besutan karya sutradara Usmar Ismail (1957). Tidak hanya para pemain yang menghiasi dalam produksi suatu film, terdapat pula tangan hebat para sineas cerdas dari balik layar, seperti Ratna Asmara yang menyutradarai Film Sedap Malam (1950). Belum lagi yang patut diperhitungkan saat itu adalah peran peraih piala Citra Christine Hakim yang memukau pada film Cinta Pertama (1973) hingga Tjoet Nja’ Dhien (1988) garapan Teguh Karya. Untuk film-film terbaru ada film 3 Srikandi yang naskahnya ditulis sendiri oleh Swastika. Film 3 Srikandi mengisahkan tentang kegigihan 3 atlit panahan perempuan Indonesia yang berhasil menyabet Medali emas di ajang olimpiade.   

Namun Tika pun sempat berpendapat bahwa citra perempuan Indonesia sempat “turun” seiring ditampilkan dalam film yang berbau esek-esek. Misalnya pada film Tiga Dara (1957),  Inem Pelayan Seksi (1976), Lima Cewek Jagoan (1980). Pada film-film tersebut perempuan Indonesia dicitrakan sebagai perempuan yang mengumbar erotika dengan mengenakan pakaian seronok. Namun mulai pertengahan tahun 2000 an, perempuan Indonesia mulai dicitrakan lebih berkarakter dan manusia dalam film-film.

Di Tengah-tengah sesi diskusi, Tika sempat melontarkan pertanyaan yang kurang lebih bunyinya “ Film Indonesia seperti apa yang ingin kita Tonton di masa yang akan datang?” (Tentunya yang mencoba menampilkan karakter perempuan). Sebagai salah seorang peserta yang kebetulan hadir, tentunya saya mengacungkan jari ingin memberikan respon pendapat atas pertanyaan tersebut. Namun sayang seribu sayang, yang terpilih untuk menjawab adalah peserta lainnya he he he.

Untuk itu, agar tidak ada rasa penasaran dan dipendam dalam hati saya coba paparkan jawaban saya yang tidak sempat terungkapkan di tulisan ini.

Menurut saya Indonesia masih kekurangan film-film kolosal yang berkualitas. Padahal dalam film kolosal kita berkesempatan untuk memperkenalkan sejarah Indonesia kepada banyak orang. Selain itu, kita bisa juga menceritakan majunya peradaban kita pada masa lampau, lihainya strategi pertempuran yang dimiliki pendahulu-pendahulu kita pada masa lalu dan tentunya kita bisa menampilkan tokoh-tokoh perempuan Indonesia yang  berkarakter dalam sejarah.

Jangan dulu jauh-jauh membandingkan dengan film-flm kolosal produksi Barat seperti Troy, Alexander, Hercules, Gladiator dan sederetan film kolosal lainnya, dengan film-film kolosal produksi Thailand sebagai sesama negara Asia Tenggara saja tampaknya kita masih cukup jauh tertinggal. Baik dari segi skenario cerita, penokohan, tata pengambilan gambar dan lain-lain. Beberapa film kolosal Thailand diantaranya The Legend Suriyothai yang berkisah tentang ratu Suriyothai, seorang ratu pada masa kerajaan Ayuthaya dulu. Ada lagi King Naresuan yang terbagi ke dalam beberapa seri. Kedua film ini digarap dengan sangat apik sekelas film Holywood sehingga tampak memukau.

The Legend Suriyothai dari Thailand. Sumber: pantun.id
The Legend Suriyothai dari Thailand. Sumber: pantun.id
Padahal, Indonesia punya potensi yang sangat bagus untuk memproduksi film-film kolosal. Potensi yang pertama adalah kekayaan sejarah perjalanan Indonesia. Kita tahu bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang dibentuk dari negara-negara yang sudah ada di masa lampau. Ada berbagai kerajaan, ada berbagai kesultanan. Selain itu, Indonesia juga pernah mengalami masa-masa perjuangan melawan penjajahan bangsa-bangsa asing. Kisah-kisah pada masa kerajaan/kesultanan atau pada era perjuangan itu dapat menjadi ide kekayaan cerita yang bisa diangkat ke dalam sebuah film. Potensi kedua aadalah kita punya SDM yang banyak, yang bisa direkrut dan dilibatkan untuk mendukung pembuatan film kolosal ini. Film kolosal cukup banyak membutuhkan peran-peran figuran, tentu ini juga bisa menjadi lapangan pekerjaan sendiri untuk para talent-talen baru. Potensi ketiga adalah keadaan alam geografis Indonesia yang unik yang sangat mendukung untuk setting film bertema kolosal.

Dahulu kita punya film-film kolosal seperti Saur Sepuh, Angling, Darma, Tutur Tinular dan lin-lain. Namun film-film itu tampaknya sudah jadul. Rasa-rasanya perlulah kita membuat film kolosal yang baru lagi yang luar biasa. Beberapa tahun yang lalu kita sempat terhibur oleh munculnya film Trilogi Darah Garuda yang mengangkat setting tentang perjuangan Indonesia melawan Belanda. Namun untuk film-film kolosal bertema kerajaan pada masa lampau tampaknya belum ada lagi yang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun