Ketika Jiwa Melangkah (Bagian 14)
Raga mengoyak-ngoyak bunga di taman yang indah. Angin tertawa, sedang mawar menahan air matanya. "Aku paling utama, siap menghancurkan rupa yang lembut."
Dia menari-nari di padang rumput. Angin bersorak, sedang pohon menyembunyikan dukanya. "Aku yang populer, selalu mendapat pujian dari semesta."
Setiap pagi, siang, malam, raga menuliskan kisahnya. Dia tiada redup, yang ada hanya kesempurnaan. "Akulah yang utama, semua patuh padaku."
Raga menua, jiwa menampakkan matanya. Dia menyingkap sepi yang lama terkandung. "Ketika aku melangkah, kau pasti sedih."
Musim berganti, Raga murung menyesali kepergian jiwa. Ternyata, semua telah redup. "Andai bisa kembali, meski semenit saja."
Gus Pras/Yoga Prasetya
Malang, 30 April 2021