Dinda, kaca yang kau berikan padaku akhirnya pecah juga. Hatimu sakit melihat kepercayaan yang selama ini terjaga, harus berakhir dalam nestapa. Tiada lagi pintu maaf untukku.
Serpihan luka itu masih menganga di balik wajahmu yang tegar. Mungkin akan kau kenang sampai mentari tak bersinar lagi. Atau kau pendam bersama kenangan manis yang pernah terjalin.
Meski raga masih di tempat yang sama, jiwa telah pupus ditelan masa. Kau menyangsikan maafku. Sembari menghapus puisi dalam genangan hujan di malam kelam.
Dinda, marahmu tumbuhkan sesal di lubuk hati. Wajahmu berpaling dari biasnya hidupku. Hanya kata yang bisa terucap:
"Tiap tetes air mataku, hanya ratap, harap, dan maaf yang mengiringi langkahku."
Malang, 4 Desember 2020
Puisi Yoga Prasetya untuk Kompasiana