Mohon tunggu...
Yoga Prasetya
Yoga Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Penjelajah

Menulis buku: Kepada Toean Dekker (2018), Antologi Kalimats Koma (2019), Retrospeksi Sumir (2020), Semesta Sang Guru (2021), Romansa Kusuma (2022), Astronomi Hati (2023), Kipas Angin (2024)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Pelabelan: Apresiasi dan Hak Prerogatif Kompasiana

18 November 2020   06:00 Diperbarui: 18 November 2020   06:04 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen olah pribadi

Selasa, 17 November 2020 empat artikel saya masuk label pilihan. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Sangat kontras dengan bulan lalu, saya menulis lima artikel dalam sehari dan tidak ada yang masuk kategori pilihan.

Label pilihan memang dipandang beragam oleh kompasianer. Ada yang peduli, ada yang apatis, ada yang labil. Saya pernah merasakan ketiganya.

Apakah arti sebuah label pilihan? Jawabannya ada tiga macam atau bahkan lebih. Bergantung pada sudut pandang orang yang menjawab.

Bagi orang yang peduli, label pilihan adalah sebuah apresiasi dari editor atau admin Kompasiana. Mungkin bagi para centang biru, apresiasinya bukan lagi pilihan. Namun, sebuah label lain yang lebih besar, yaitu artikel utama.

Bagi orang yang apatis, pertanyaan tersebut sama dengan ujaran "apalah arti sebuah nama?" Yang penting jadi orang baik meski namanya tak memiliki arti yang indah. Yang penting menulis saja sesuatu yang aktual, menarik, inspiratif, dan bermanfaat. Mau pilihan mau enggak semua adalah hak prerogatif kompasiana. Begitulah, yang saya rasakan saat menjadi penulis apatis.

Nah, bagi orang yang labil, ada konflik batin dalam dirinya. Ketika artikel yang dibuatnya dengan susah payah tidak masuk pilihan, sikapnya biasa saja seakan tak peduli. Namun, hatinya mengumpat.

Saat saya duduk di bangku kuliah, ada beberapa mata kuliah yang menurut saya unik sekali. Apresiasi puisi, apresiasi drama, dan apresiasi prosa. Ketiganya mengajarkan kepada saya tentang pentingnya sebuah apresiasi.

Setiap karya sastra yang dibuat oleh seorang sastrawan sudah selayaknya mendapatkan apresiasi. Membuat puisi, drama, dan prosa menurut saya jauh lebih sulit ketimbang menulis berita atau artikel nonsastra. Namun, saya menemukan fakta baru di kompasiana.

Semua orang bisa menulis sastra tetapi tidak semua tulisan tersebut bernilai sastra. Dampaknya, kualitas tulisan bergenre puisi, cerpen, novel di Kompasiana menjadi rendah karena sebenarnya butuh amunisi yang baik untuk menulis sebuah sastra. Anggapan yang muncul kemudian adalah artikel paling mudah di Kompasiana hanyalah sebuah cerpen atau puisi.

Kemarin (17 November), ada hal yang menarik dari empat label pilihan yang saya dapatkan, yaitu keempatnya punya genre yang berbeda. Artikel tersebut ialah novel Kisah Gaib Sang Guru dengan sub judul "Ketika Jiwa Berpisah dengan Raga", puisi "Cinta di Tahun Terakhir", tulisan nonsastra "Ayo Berkenalan dengan Teks Eksplanasi", dan cerpen "Curahan Hati Mirasantika". Keempat artikel tersebut memiliki kesulitan dan "nasib" yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun