Pemerintah Indonesia telah mengumumkan kebijakan efisiensi anggaran pada sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah. Kebijakan ini dilakukan dengan tujuan memperbaiki pengelolaan keuangan negara yang selama ini dianggap tidak efisien dan tidak tepat sasaran. Kebijakan ini tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 mengenai efisiensi belanja dan pelaksanaan APBN dan APBD. Pada Inpres ini, Presiden Prabowo meminta dilakukannya efisiensi oleh pemerintah pusat dan daerah sebesar Rp 306,7 triliun. Efisiensi anggaran ini terdiri dari pemotongan belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp 256,1 triliun dan pemotongan ke daerah sebesar Rp 50,59 triliun.
Kebijakan efisiensi ini merupakan langkah positif bagi pengelolaan keuangan negara, karena selama ini terdapat beberapa departemen dan lembaga yang disorot kurang cermat dalam menggunakan anggaran. Hal ini merupakan langkah yang baik untuk mencegah terjadinya pemborosan anggaran yang harusnya dapat digunakan untuk kemakmuran rakyat. Misalnya anggaran ATK, perjalanan dinas, sewa kendaraan, serta kegiatan seremonial. Uang yang dikeluarkan untuk kegiatan itu tidak sesuai dengan dampaknya terhadap masyarakat.
Kebijakan ini adalah langkah yang baik, tetapi tidak boleh dilakukan secara terburu-buru. Harus dilakukan analisis langsung ke lapangan untuk menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Namun, tampaknya pemerintah tergesa-gesa dan tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang. Terdapat banyak departemen yang seharusnya mendapatkan porsi yang lebih besar, tetapi malah kena pemangkasan.
Efisiensi ini akan berdampak langsung pada pelayanan masyarakat secara birokrasi dan pelayanan masyarakat terhadap data-data mengenai cuaca, iklim dan lain sebagainya.
Terdapat beberapa departemen yang mengalami tantangan terkait dengan kebijakan efisiensi ini. Terutama adalah departemen yang menggunakan anggaran untuk belanja modal atas kebutuhan operasional.
Misalnya BMKG yang anggarannya dipotong sebesar 50,35 persen. Akibatnya, efisiensi ini akan menyebabkan banyak alat operasional utama (Aloptama) terancam mati karena kemampuan pemeliharaannya berkurang hingga 71 persen. Ketepatan akurasi informasi cuaca, iklim, gempa bumi, dan tsunami menurun dari 90 persen menjadi hanya 60 persen (Muslihuddin, 2025).
Selanjutnya, departemen yang anggarannya dipotong sangat besar adalah kementerian PU, yang awalnya mempunyai dana sebesar Rp 110,95 triliun, kini hanya Rp 29,57 triliun. Selanjutnya ada BRIN dan Kemendiktisaintek yang juga terdampak akibat pemangkasan anggaran ini.
Selain itu, Ombudsman dan KPAI juga terdampak. Ketua Ombudsmas Mokhammad Najih mengatakan bahwa, pagu anggarannya dipotong 35, 89 persen dari Rp 255,59 kini menjadi Rp 163,99 miliar. Menurutnya, dana Ombudsman hanya cukup untuk belanja modal dan barang sampai Mei. Kondisi serupa juga dialami Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) yang terancam tidak bisa melakukan tugas pengawasan akibat efisiensi anggaran.
Semua fenomena di atas akan menyebabkan terjadi penurunan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Bukan hanya pada pelayanan yang bersifat birokrasi, tetapi pelayanan data-data BMKG yang kurang akurat, jalanan rusak yang akan mempersulit mobilitas masyarakat, dan berbagai hal lainnya.
Memang dengan dilakukannya efisiensi anggaran, uang yang digunakan oleh beberapa departemen menjadi berkurang. Tetapi apakah dengan pemangkasan anggaran tentu akan mengefisienkan anggaran?
Yang dimaksud efisien adalah penggunaan yang tepat sasaran, sehingga akan memberikan dampak yang lebih besar. Bukan berarti dengan pemangkasan anggaran akan menghasilkan dampak yang lebih besar. Tetapi hal ini sepertinya tidak dipertimbangkan oleh pemerintah. Anggaran pendidikan yang seharusnya tidak terkena pemangkasan malah dipotong. Begitu juga dengan anggaran kesehatan. Dalam pidato Prabowo, menyatakan bahwa efisiensi anggaran ini akan diberikan kepada rakyat, memberi makan anak-anak rakyat.