Mohon tunggu...
gandara m y..
gandara m y.. Mohon Tunggu... Seniman - Menulis

Musik dan Lirik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reformasi Galau dan Low!

29 September 2019   21:42 Diperbarui: 29 September 2019   23:19 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Gandara M Y

Aturan pondasinya dibuat berdasarkan kebiasaan natural manusia hidup di dunia. Disepekati secara kolektif melalui metode uji dan riset. Kolektif tertentu umumnya merupakan pemangku kewenangan yang handal. Mulai dari pejabat, akademisi sampai praktisi yang merupakan lingkaran besar sebuah kekuatan kesepakatan menuju ruang legalitas.

Kemarin baru saja kita reda dari hujan perbedaan politik di tanah air, namun tidak lama setelah itu kita terkaget-kaget atas aksi mahasiswa yang turun ke jalan, dari mulai di daerahnya sampai menempati Senayan. Astaga, jantung kita berdebar dua kali lipat rasanya melihat ini semua. Karena melihat aksi mahasiswa secara akbar turun ke jalan ini, membuat pikiran kita merelevansikannya terhadap suatu insiden, dimana runtuhnya kekuasaan pemerintah orde baru. Masa yang begitu kelam dan problematis dulu, mengantarkan mahasiswa dan rakyat Indonesia bersikap berani begerak menuju perubahan yang dinamai reformasi itu.

Atas pengkajian dasar, rasa solidaritas dan persamaan rasa inilah yang membuat kosongnya kelas perkuliahan dan pilihan mereka untuk turun ke jalan pertengahan sampai akhir bulan September kemarin. Tan Malaka pernah berkata "idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda". Hal ini diyakini selaras dengan asbabunnuzul mengapa mahasiswa turun ke jalan. Yaitu adanya akar-akar idealisme yang merambat dari dalam benak masing-masing mahasiswa yang disalurkan melalui sebuah aksi terbuka. Berangkat dari persoalan itu, jadi apakah pemerintah sekarang sudah tidak lagi mempunyai idealisme?. Iya atau tidak tentunya perlu terus ditelisik, karena poin mahasiswa, poin kita rakyat Indonesia adalah mengingatkan melalui usul dan saran agar supaya pemerintah seterusnya berbuat baik terhadap rakyatnya. Menjadi selamanya penyetabil aturan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Aksi bisa menjadi langkah awal bisa juga menjadi langkah akhir yang ditempuh oleh para pemuka pendapat. Dalam aksi ini, mahasiswa sangat diuntungkan dengan sarana media sosial sebagai komunikasi, memudahkan partikel-partikel mahasiswa di daerah untuk bisa terhubung dan bersatu dengan waktu yang tidak lama. Maka seharusnya tidak ada lagi dalih apabila pemerintah melakukan pembatasan internet pada saat-saat penting seperti ini, untuk membuka ruang gerak yang tujuannya sangat mulia. Pada gerakan ribuan mahasiswa kemarin ada kemiripan pola dengan gerakan zaman dahulu, antara lain gerakan-gerakan kecil yang bermunculan di daerah, kemudian mencuat di daerah pusat ibu kota. Aksi kemarin juga umpama kita bernostalgia dan berjalan-jalan kepada sebuah pergerakan masa yang mempunyai kesamaan tujuan. Ialah memerdekakan rakyatnya di atas tanah air sendiri tanpa kecuali.

Salah satu tuntutan mahasiswa adalah terkait RUU KUHP. Banyaknya asumsi publik menanggapi isi dari rancangan undang-undang ini menimbulkan sebuah gerakan pikiran. Beberapa pasal dalam RUU dianggap tidak logis, mengancam demokrasi, mengancam privasi sampai mengancam pemberantasan korupsi.

Contohnya Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang dianggap pasal karet, sehingga membatasi ruang kebebasan berpendapat serta kebebasan pers. Bahkan mampu juga dimanfaatkan sebagai peredaman kritik terhadap pemerintahan eksekutif. Padahal kita ketahui bahwa penghinaan dan kritikan berbeda sesuai teks dan konteksnya. Pasal tentang gelandangan yang meresahkan akan didenda, padahal gelandangan atau pengemis merupakan produk dari pada ketimpangan sosial, kemiskinan bahkan akibat pengangguran, dan semua itu perlunya pembinaan oleh lembaga terkait.

Maka secara otomatis itu tentu malah PR pemerintah sebetulnya yang masih belum selesai-selesai sampai saat ini. Sehingga pasal tersebut kurang mampu dicerna oleh akal pikiran. Bagaimana mereka akan membayar denda, kehidupan merekapun kenyataannya sulit?. Kemudian Pasal tentang korupsi yang menghukum tersangka kasus korupsi dengan hukuman yang lebih ringan. Padahal belakangan ini semakin banyak tersangka korupsi di lingkaran istana, di lingkaran parlemen, di akhir masa jabatan pula. Maka yang lebih tepat barangkali memberikan efek jera atau hukuman yang lebih berat demi penegakan pemberantasan korupsi yang lebih kokoh dan konsisten. Walau, alasan pemerintah adalah UU KUHP ini merupakan warisan kolonial, dan beberapa pasal sebetulnya sudah ada sejak dahulu di kitab undang-undang hukum yang lama. Akan tetapi tidak ada yang salah apabila pemerintah dan DPR menginginkan produk undang-undang karya anak bangsa sendiri, namun yang salah yakni ketika undang-undang itu malah berpihak bukan kepada rakyat.

Selain tuntutan mahasiswa terkait RUU KUHP, tuntutan terhadap UU KPK ini juga dibahas dan disampaikan melalui aksi kemarin. UU KPK ini disinyalir melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani kasus-kasus nasional. Di antaranya adanya perangkat dewan pengawas yang merintangi aktivitas KPK dalam upaya penyidikan, terpilihnya pimpinan KPK yang bermasalah dan UU pegawai KPK yang akan dirubah menjadi ASN. Dari semua UU itu akan disahkan pada akhir masa periode ini. Hal tersebut tentu membuat masyarakat bertanya-tanya dan membentuk sebuah opini, bahwasanya apakah mereka (DPR) akan cuci tangan setelah semua undang-undang ini telah selesai dan diketuk palu?. Keadaan ini tentu beresiko terhadap kinerja KPK ke depan dan masa depan integritas sebuah bangsa. Banyaknya peluang intervensi terhadap lembaga independen ini membuat publik khawatir, salah satu simbol reformasi ini bisa perlahan tergerus memudar.

Namun apresiasi muncul dari berbagai elemen terhadap mahasiswa kita yang seakan bangun dari tidurnya. Walaupun tantangan mahasiswa ini berat, dan lagi-lagi mereka dihadapkan dengan tingkah represif dari aparat kepolisian negara. Menimbulkan korban dan sekitar 200 lebih mahasiwa dilaporkan belum bisa dipulangkan dari kantor kepolisian. Aksi-aksi tersebutpun berujung beruntut dan gaung di setiap gedung-gedung parlemen di daerah. Di setiap daerah juga tingkah pola represif aparat dipertontonkan sebagai drama kesedihan yang sangat disayangkan.  Akhirnya pemerintah dan DPR menangkap sinyal kegentingan ini, sehingga memutuskan untuk menunda disahkannya semua RUU yang diklaim kontroversial tersebut. Padahal kita paham, bahwa kata "menunda" itu adalah bahasa politis pejabat publik. Kita tahu bahwa dari 100% bahasa yang keluar dari mulut pemerintah, hanya 10% bersifat moral dan sisanya tentu saja politis. Kemudian masa yang tergabung dalam aliansi mahasiswa tidak langsung bergembira dengan putusan pemerintah yang menunda sampai batas waktu tertentu, karena keinginan para mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya adalah mengganti atau menghapuskannya undang-undang yang tidak pro terhadap rakyat. Itu mutlak dan bukan untuk ditunda agar meredamkan aksi masa atau untuk tujuan tertentu lain.

Lalu ujian para mahasiswa ditambah berat lagi ketika dianggap dimanfaatkan oleh kelompok tertentu, dalam hal ini oposisi untuk menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa. Dengan prinsipil mereka menjawab bahwa aksi yang selama ini dilakukan murni atas dasar kepentingan rakyat di dalamnya. Tidak terpengaruh politik warna apapun itu.

            Menurut saya, jawaban yang penuh prinsip dan komitmen ini terlalu santun diucapkan mahasiswa dalam menanggapi tudingan ditunggangi sebagian oknum. Karena memang mengapa apabila mahasiswa dan rakyat Indonesia merasa kecewa sehingga tumbuhlah di sana keinginan menuju alternatif lain dalam upaya mengubah situasi dan kondisi negara?. Bukankah keinginan itu semua sangat memungkinkan berjalan secara alami tanpa ada embel-embel ditunggangi?. Toh, kita pelajari bahwa tuntutan mahasiswa secara substansial memang mengangkat isu-isu seperti RUU yang dalam hal ini angggota dewanlah yang mempunyai otoritas. Namun demikian perlu diketahui bahwasanya mereka juga mengaktifkan isu-isu lain yang tidak kalah penting, di antaranya konflik di Papua, pelanggaran HAM yang tidak kunjung tuntas, kebakaran hutan lahan di Riau dan isu lainnya. Maka apakah salah mahasiswa menyampaikan semua polemik-polemik yang saat ini riuh di muka publik?. Saya rasa tidak, dan jika dikaitkan terus ke dalam ranah konflik kepentingan, sampai kapan  semua ini akan selesai?. Bukankah ini semua sebab dari hanya ada dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden di Pilpres kemarin?. Keadaan dimana mempersempit nalar kita karena kalau tidak bicara 01 maka tentu 02. Bukankah juga ini imbas dari pada produk pemerintah terkait batas ambang Pilpres saat itu?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun