Mohon tunggu...
Yoga Ramdani
Yoga Ramdani Mohon Tunggu... Administrasi - You know nothing, jon..

Pemerhati lini massa yang kebetulan bagian dari Korps Pegawai Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

"Aing" yang Kekinian

25 Februari 2019   17:55 Diperbarui: 25 Februari 2019   18:30 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

"Bayarin makan siang aing, dong, lupa nih nga bawa dompet."

Percakapan terlontar antara dua orang mahasiswa selepas waktu perkuliahan di kantin dekat sebuah universitas swasta di ibukota. Tunggu, ibu kota? Ya, percakapan tersebut terdengar di Jakarta, bukan hanya di Bandung, Bogor, Tasikmalaya atau daerah lain dengan bahasa Sunda sebagai bahasa percakapan yang sering digunakan.

Entah sudah berapa lama fenomena ini lahir, kata "aing" mulai sering digunakan sebagai kata ganti sebutan "saya/aku", penggunannya secara fungsional dalam kosakata dan percakapan kekinian mungkin sudah selevel dengan kata kata dari bahasa asing yang sering kita dengar akhir-akhir ini semisal: kata "which is", "literally" dan lain sebagainya. Fenomena pencampuradukkan bahasa ini sekilas memang terlihat tidak bermasalah, malah jika dilihat dalam konteks yang lebih luas hal ini bisa dibilang sebuah terobosan untuk menempatkan sebuah kata dalam bahasa lokal sejajar dengan bahasa asing, akan tetapi sebagai bahasa tutur lokal seringkali kita lupa bahwa sebuah kata seringkali "tidak berdiri sendiri dan bebas nilai" ia dibentuk oleh konstruksi sosial di dalamnya.

Kata "Aing" contohnya dalam bahasa sunda sejatinya merupakan kata ganti orang pertama yang dianggap "kasar", dalam alam tutur bahasa Sunda memang dikenal undak-usuk basa yang mengatur peruntukan berbahasa misal: bahasa yang ditujukan kepada orang yang lebih tua, kepada yang lebih muda/sebaya. Menurut Zen RS undak-usuk basa tidak bisa dilepaskan dari faktor kesejarahan dimana bahasa Sunda sangat terpengaruh oleh strata bahasa jawa yang membedakan bahasa jawa kedalam berbagai tingkatan: karma inggil, krama madya, dan ngoko. Dalam konteks penggunaan kedua bahasa tersebut, baik Jawa maupun Sunda, penggunaan bahasa yang berbeda dengan peruntukannya serta di luar standar baku bisa dianggap sebuah kesalahan. Kecenderungan feodalistik tersebut memang tidak terelakkan karena memang struktur strata bahasa Jawa dibuat sebagai bagian dari upaya pelanggengan hegemoni kekuasaan melalui pembentukan hierarki kebahasaan dan sebagai sebuah standar baku yang hidup di masyarakat tentu hal ini sudah melembaga dan dijadikan acuan dalam berbahasa.

Fenomena penggunaan kata "aing" dalam percakapan kekinian seolah menabrak standar tersebut. Dan seperti yang seringkali terjadi, terdapat beberapa pihak yang merasa berkeberatan dengan penggunaan kata "aing" tersebut. Seperti terjebak dalam dua dunia yang berbeda, penutur kata "aing" saat ini (didominasi oleh milenial) hidup pada masa kini dengan aturan mereka sendiri yang tentunya berbeda dengan aturan terdahulu (saat undak-usuk basa diperkenalkan). 

Lantas bagaimanakah kita menyikapinya? Sebagai generasi yang lahir lebih dahulu, kita memang sudah terbiasa dengan standar undak-usuk basa yang mengakar, namun kita juga harus sadar bahwa bahasa esensinya merupakan alat komunikasi, apa yang dianggap benar oleh sebuah generasi belum tentu benar oleh generasi selanjutnya sehingga "pemakluman" terhadap penggunaan kata "aing" dalam percakapan kekinian anggaplah sebagai upaya merawat ingatan kolektif kita akan pentingnya melestarikan kearifan lokal di tengah globalisasi saat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun