Mohon tunggu...
Yoel Ade Prasetyo
Yoel Ade Prasetyo Mohon Tunggu... Rohaniawan -

Pemerhati perkembangan dan pertumbuhan anak, dengan keterbatasan yang dimiliki dapat menjadi saluran berkat bagi anak-anak serta melayani kerohanian mereka.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bolehkah-ku ‘Memukul dan Menghajar’ Anakku

26 Oktober 2015   18:58 Diperbarui: 28 Oktober 2015   00:45 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="http://bengkuluekspress.com/wp-content/uploads/2013/05/060920_707031_nesu.jpg"][diambil dari gambar google]

Seorang bapak memasuki ruangan saya dan bercerita perihal perkembangan anaknya yang menjengkelkan baginya. Bapak tersebut sempat mengeluarkaan perkataan “bolehkah ku hajar anakku”? satu kalimat yang penuh dengan amarah dan kejengkelan tat kala anak tidak dapat bertumbuh sesuai yang diharapkan orang tua.

Saya masih ingat betul dalam pikiran saya penggalan lagu yang dahulu dikumandangkan oleh Forum Anak Surakarta demikian “anak harus hidup tumbuh dan berkembang mendapat perlindungan” lantas bagaimana dengan anak yang kurang menggembirakan perilaku dan sifatnya apakah harus terus menerus dilindungi tanpa mendisiplinkan mereka. Sebagai orang tua tentunya akan menjadi sulit untuk mendisiplin anaknya. Dengan cara apakah harus mendisplinkan mereka segala cara cara mungkin sudah dilakukan lantas timbul sebuah pertanyaan bolehkah mendisplin anak dengan :memukul atau menghajar” mereka demi kebaikan mereka?Ada beberapa hal yang harus orangtua pikir­kan dalam hal ini: Pertama, motivasi orang­tua ketika memukul atau menghajar anak. Kunci per­tama yang terpenting di dalam mendidik anak adalah ba­gaimana saya mulai dengan mo­tivasi mengasihi anak. Yang seringkali menjadi ke-sa­lahan orangtua adalah justru pa­da saat mencintai anak, mereka tidak dapat meng­gu­na­kan tongkat, dan pada saat mem­­benci anak, tongkatlah yang menjadi alat pelam­pias­an.

 

Seringkali orangtua ti­dak mendidik anak karena men­cintainya tetapi karena me­­rasa jengkel dan dirugikan oleh anak. Ketika sedang jengkel, orangtua harus me­ne­duh­kan diri dan memikirkan baik-baik apakah ia layak untuk memukul dan sejauh mana ke­salahan anak itu. Dan baru­lah ia memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap anak. Sebab jikalau kita se­dang marah karena jengkel, kita dapat memukul anak tanpa ba­tas dan keadilan. Ini me­rupakan kejahatan dan kekejian di hadapan Tuhan yang di­lam­piaskan kepada orang yang tidak berdaya. Menurut konsep yang tepat, cintalah yang mengharuskan orangtua me­mukul anaknya demi kebaikannya. Seorang pendeta me­ngatakan, “Pukullah anakmu de­ngan air mata.” Ketika memukul anak, biarlah orang­tua memukul dengan menangis karena sebenarnya mereka tidak suka memukulnya. Ketika anak tahu, papanya pukul dia dengan keras te­tapi bukan karena benci melainkan karena mencintainya, anak itu akan tahu bahwa ia di­hukum keras dan mulai belajar keadilan namun ia tidak menjadi marah dan benci.

Kedua, cara orangtua mendidik anak. Ketika menghukum anak, orangtua ha­rus tahu bagaimana caranya membuat dia mengerti kesalahannya dan bagaimana meng­hukum dia atas kesalahan itu dengan dasar keadilan dan cintakasih. Seorang anak harus dihukum karena kesalahannya, agar tidak mengulangi kesalahan yang sa­ma atau membuat kesalahan yang lebih besar lagi. Ketika melakukan tindakan peng­hukuman, orangtua harus memperhatikan tempat penghukuman. Jangan sampai kita me­mukul anak di bagian kepala karena dapat mengakibatkan radang otak. Demikian juga dengan punggung tangan anak yang dapat putus atau terkilir. Maka bagian terbaik un­tuk memukul adalah di telapak tangan dan di pantat.

Ketiga, hasil didikannya. Ef 6 mengatakan bahwa didikan orangtua yang benar akan menghasilkan anak-anak yang terdidik di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Mereka akan mengerti tentang firman dan ajaran Tuhan. Karena itu, setelah peng­hukuman, orangtua harus memperhatikan adakah pertobatan dan perubahan da-lam diri anaknya. Stephen Tong mengajarkan dalam Arsitek Jiwa, bahwa se­telah menghajar anak, bukannya anak menjadi benci kepada orangtua, tetapi dia men­jadi sungkan namun terus mencari mereka. Inilah paradoksikal pendidikan yang sukses. Un­tuk mencapainya, orangtua harus mampu menjalankan kasih dan keadilan secara se­­­im­bang sesuai dengan figur Allah yang tepat. Tuhan mengasihi tapi juga sekaligus meng­­hukum. Maka saat itu cinta dan keadilan tidak didualismekan tetapi justru digabungkan.

Di tengah dunia ini, sangat sulit bagi orangtua untuk selalu menjaga anaknya karena terlalu banyak pengaruh luar yang mencoba mempengaruhinya. Oleh karena itu, orangtua harus memberikan bekal kebenaran yang secukupnya sehingga dia mem­punyai kekuatan untuk bertahan di dalam segala macam situasi. Janganlah “pukul dan hajar” anakmu dengan hati yang sedang jengkel tapi lakukan lah dengan kasih kepada anak-anak kita.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun