[caption caption="http://bengkuluekspress.com/wp-content/uploads/2013/05/060920_707031_nesu.jpg"][diambil dari gambar google]
Seorang bapak memasuki ruangan saya dan bercerita perihal perkembangan anaknya yang menjengkelkan baginya. Bapak tersebut sempat mengeluarkaan perkataan “bolehkah ku hajar anakku”? satu kalimat yang penuh dengan amarah dan kejengkelan tat kala anak tidak dapat bertumbuh sesuai yang diharapkan orang tua.
Saya masih ingat betul dalam pikiran saya penggalan lagu yang dahulu dikumandangkan oleh Forum Anak Surakarta demikian “anak harus hidup tumbuh dan berkembang mendapat perlindungan” lantas bagaimana dengan anak yang kurang menggembirakan perilaku dan sifatnya apakah harus terus menerus dilindungi tanpa mendisiplinkan mereka. Sebagai orang tua tentunya akan menjadi sulit untuk mendisiplin anaknya. Dengan cara apakah harus mendisplinkan mereka segala cara cara mungkin sudah dilakukan lantas timbul sebuah pertanyaan bolehkah mendisplin anak dengan :memukul atau menghajar” mereka demi kebaikan mereka?Ada beberapa hal yang harus orangtua pikirkan dalam hal ini: Pertama, motivasi orangtua ketika memukul atau menghajar anak. Kunci pertama yang terpenting di dalam mendidik anak adalah bagaimana saya mulai dengan motivasi mengasihi anak. Yang seringkali menjadi ke-salahan orangtua adalah justru pada saat mencintai anak, mereka tidak dapat menggunakan tongkat, dan pada saat membenci anak, tongkatlah yang menjadi alat pelampiasan.
Seringkali orangtua tidak mendidik anak karena mencintainya tetapi karena merasa jengkel dan dirugikan oleh anak. Ketika sedang jengkel, orangtua harus meneduhkan diri dan memikirkan baik-baik apakah ia layak untuk memukul dan sejauh mana kesalahan anak itu. Dan barulah ia memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap anak. Sebab jikalau kita sedang marah karena jengkel, kita dapat memukul anak tanpa batas dan keadilan. Ini merupakan kejahatan dan kekejian di hadapan Tuhan yang dilampiaskan kepada orang yang tidak berdaya. Menurut konsep yang tepat, cintalah yang mengharuskan orangtua memukul anaknya demi kebaikannya. Seorang pendeta mengatakan, “Pukullah anakmu dengan air mata.” Ketika memukul anak, biarlah orangtua memukul dengan menangis karena sebenarnya mereka tidak suka memukulnya. Ketika anak tahu, papanya pukul dia dengan keras tetapi bukan karena benci melainkan karena mencintainya, anak itu akan tahu bahwa ia dihukum keras dan mulai belajar keadilan namun ia tidak menjadi marah dan benci.
Kedua, cara orangtua mendidik anak. Ketika menghukum anak, orangtua harus tahu bagaimana caranya membuat dia mengerti kesalahannya dan bagaimana menghukum dia atas kesalahan itu dengan dasar keadilan dan cintakasih. Seorang anak harus dihukum karena kesalahannya, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama atau membuat kesalahan yang lebih besar lagi. Ketika melakukan tindakan penghukuman, orangtua harus memperhatikan tempat penghukuman. Jangan sampai kita memukul anak di bagian kepala karena dapat mengakibatkan radang otak. Demikian juga dengan punggung tangan anak yang dapat putus atau terkilir. Maka bagian terbaik untuk memukul adalah di telapak tangan dan di pantat.
Ketiga, hasil didikannya. Ef 6 mengatakan bahwa didikan orangtua yang benar akan menghasilkan anak-anak yang terdidik di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Mereka akan mengerti tentang firman dan ajaran Tuhan. Karena itu, setelah penghukuman, orangtua harus memperhatikan adakah pertobatan dan perubahan da-lam diri anaknya. Stephen Tong mengajarkan dalam Arsitek Jiwa, bahwa setelah menghajar anak, bukannya anak menjadi benci kepada orangtua, tetapi dia menjadi sungkan namun terus mencari mereka. Inilah paradoksikal pendidikan yang sukses. Untuk mencapainya, orangtua harus mampu menjalankan kasih dan keadilan secara seimbang sesuai dengan figur Allah yang tepat. Tuhan mengasihi tapi juga sekaligus menghukum. Maka saat itu cinta dan keadilan tidak didualismekan tetapi justru digabungkan.
Di tengah dunia ini, sangat sulit bagi orangtua untuk selalu menjaga anaknya karena terlalu banyak pengaruh luar yang mencoba mempengaruhinya. Oleh karena itu, orangtua harus memberikan bekal kebenaran yang secukupnya sehingga dia mempunyai kekuatan untuk bertahan di dalam segala macam situasi. Janganlah “pukul dan hajar” anakmu dengan hati yang sedang jengkel tapi lakukan lah dengan kasih kepada anak-anak kita.