Mohon tunggu...
Yohanes Bara
Yohanes Bara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Founder TOBEMORE Learning Center Bekerja di Majalah BASIS dan Majalah UTUSAN

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Kertas Audrey

23 Juli 2018   15:35 Diperbarui: 25 Juli 2018   23:05 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Audrey sampai di pengujung kesabarannya, ia tak tahu lagi harus melakukan apa untuk meyakinkan Astu bahwa hidup bukanlah soal kebahagian dan kepuasan hati saja. Audrey mungkin bisa mengerti, tapi tidak dengan kedua orang tuanya. Mereka harus bersepakat untuk hal yang semestinya dijalani sampai mati.

Astu selalu menunjukkan kebahagiannya, ia merasa lega dan merdeka kala satu per satu hati dan pikiran anak-anak kampungnya dapat ia buka. Bertahun-tahun ia menggelar buku di balai kampung, mengajari anak bertanam, bertahan untuk menghadapi masa depan yang makin ganas mengempas.

"Aku tahu kau puas, kebahagian itu terpancar dari matamu. Tetapi semua ada waktunya Astu, jika kau tak menjalani takdir sesuai masanya, akan ada takdir yang tak matang atau terlewat untuk kau jalani," kata Audrey, ia memegang dan mengusap lembut tangan Astu namun berteriak dalam batin, "menyerahlah!"

Hatinya memang lembut pada anak-anak kampung, tetapi kelembutan itu bukanlah yang dibutuhkan untuk menata hidup bersama Audrey. "Apa yang kita cari? Bukankah Tuhan tak sedang bercanda menciptakan kita? Kita punya tujuan penciptaan Audrey. Kita butuh uang, tapi apalah artinya jika kau tak pernah berbagi pada dunia," Astu menunjukkan dominasi seoarang lelaki.

Lima tahun lalu Audrey melihat Astu begitu dekat dan penuh cinta pada anak-anak, tak seperti banyak lelaki lain yang tak peduli pada sesama dan hanya dengan kepulan sebatang rokok ia menunjukkan kejantanannya. Beberapa kali berkegiatan bersama cukup sudah bagi Audrey menentukan pilihan.

"Aku tak butuh uangmu, kita bisa mencarinya bersama, aku juga tak gentar hidup penuh cucuran keringat. Tetapi aku butuh rasa aman bahwa kau bisa menjaga anakku kelak tanpa kau meninggalkan cintamu pada dunia. Letakkanlah sejenak keangkuhanmu itu Astu, jadilah rendah hati untuk berani menerima duka bahwa memang kita berhadapan dengan masa yang tak gampang, masa untuk mencintai tanpa perbuatan, melakukan sesuatu yang tak kau sukai -- berjuang."

"Kau pikir dengan jabatan dan uang kau bisa mencintai semesta?" potong Astu yang membuat Audrey menghela nafas dan tersenyum, Audrey lebih sabar dan mengerti keangkuhan kekasihnya itu. Ia tak ingin membalas, ia hanya semakin merekahkan senyum yang membuat Astu tak kuasa menegakkan angguh.

Astu memang punya kegelisahan atas duka lara anak-anak kampung yang renta, mereka diperlakukan tidak semestinya, kekasaran orang tua meruntuhkan kepercayaan diri mereka, pemuda desa yang bertatto dan bersemir menjadi panutan mereka, putus sekolah, dan keyakinan Astu adalah anak-anak kampung itu tak akan memiliki tempatnya, mereka hanya akan menjadi sampah yang berserakan. "Kau tahu Audrey, satu saja dari anak itu selamat, kita sudah selamatkan satu generasi."

Audrey tak bergetar akan ucapan itu, bahkan ia tak menerima kata "kita". "Kau sudah ucapkan itu Astu dan aku percaya. Aku tak meminta cintamu dari mereka, bahkan jika kau lebih mencintai semesta aku pun tak mengaduh. Tetapi kita hanya bisa memberi apa yang kita punya, jika kau tak punya apa-apa lalu apa yang bisa kau berikan?"

"Hati dan waktuku sudah kuberikan," bela Astu.

Audrey mendekatkan selembar kertas dengan kedua jarinya untuk Astu, selembar kertas yang sudah mereka ketahui isinya. Hanya senyum yang bisa diberikan Audrey, seolah ia sedang memohon Astu untuk mengeringkan lautan. Namun Astu semakin kecut, menatap Audrey tanpa senyum sembari menghela nafas lalu membuang pandangan jauh ke belakang Audrey. Kekecutan yang tak pernah ia tampilkan pada anak-anak, sebab ia tak mau anak-anak tahu kalau ia juga memiliki ketakutan seperti anak-anak pada gelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun