Mohon tunggu...
heru suti
heru suti Mohon Tunggu... Administrasi - Merdeka

Menulis untuk menghasilkan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Propaganda Politik dan "Downgrade" Logika Moral

29 Juni 2018   11:25 Diperbarui: 29 Juni 2018   11:35 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: factinate.com)

Lha saya kok tiba-tiba kepikiran sama Samsul Bahri. Samsul Bahri yang mengganggu pikiran saya adalah Samsul Bahri yang ada dalam cerita novel Siti Nurbaya, karangan Marah Rusli, angkatan Balai Pustaka. Samsul Bahri yang mengganggu pikiran saya adalah dia yang dulu ada di sinetron TVRI, sinetron yang diadaptasi dari novel Siti Nurbaya, belasan atau puluhan tahun silam, saat saya masih anak SD yang lucu, lugu dan manis...

Saya ingat ketika itu, dengan logika moral anak SD saya galau berat dengan si Samsul Bahri ini. Yang membuat galau adalah, si Samsul ini kan dikisahkan sebagai orang baik, protagonis dalam cerita, lha tapi kok berakhir jadi tentara Belanda? Itu jelas bikin saya galau, bagaimana bisa orang baik jadi tentara Belanda, tentara penjajah. Penjajah kan jahat, temannya setan...

Ya, Samsul Bahri adalah orang baik, tulus cintanya pada Siti Nurbaya, dari keluarga miskin, dizolimi oleh Datuk Maringgih sehingga cintanya kandas dan terpaksa merantau. Lha tapi kok malah jadi tentara Belanda? Sungguh sulit logika saya memahaminya ketika itu..

Dan memang, logika moral anak-anak yang sederhana, hitam putih, setan malaikat, baik jahat, yang hanya dua dimensi itu memang sulit mengurai permasalahan dunia yang multi dimensi.

Lawrence Kohlberg, salah satu tokoh ilmu psikologi membagi tahapan perkembangan pemahaman moral dalam tiga fase: pra konvensional, konvensional dan pasca konvensional. Tahapan pertama, seorang anak memandang perbuatan bermoral sebagai perbuatan untuk menghindari hukuman atau mendapatkan ganjaran/ hadiah.

Tahapan kedua, tahapan konvensional, seseorang menilai tindakan moral dari konvensi, norma baik buruk yang dipelajarinya dari lingkungan. Tahapan ketiga adalah yang paling tinggi dimana seseorang memandang moralitas sebagai sebuah prinsip etika. Tahapan tertinggi ini memerlukan kemampuan untuk  mempertimbangkan berbagai aspek dan dimensi dalam sebuah perbuatan.

Si bapak Kohlberg ini dulu melakukan penelitian dengan memberikan persoalan dilema moral terhadap partisipan penelitiannya, salah satunya adalah dilema Heinz ini :

Seorang perempuan sudah hampir meninggal dunia akibat semacam kanker. Ada suatu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat itu adalah semacam radium yang baru saja ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Obat itu mahal ongkos pembuatannya, tetapi si apoteker menjualnya sepuluh kali lipat ongkos pembuatannya tersebut. Ia membayar $200 untuk radium tersebut dan menjualnya $2.000 untuk satu dosis kecil obat tersebut.

Suami dari perempuan yang sakit, Heinz, pergi ke setiap orang yang dia kenal untuk meminjam uang, tapi ia cuma memperoleh $1.000, setengah dari harga obat seharusnya. Ia berceritera kepada apoteker bahwa isterinya sudah sekarat dan memintanya untuk dapat menjual obat dengan lebih murah atau memperbolehkan dia melunasinya di kemudian hari. Tetapi si apoteker mengatakan: "Tidak, saya yang menemukan obat itu dan saya akan mencari uang dari obat itu." Heinz menjadi putus asa dan membongkar apotek tersebut untuk mencuri obat demi istrinya.
Haruskah Heinz membongkar apotek itu untuk mencuri obat bagi isterinya? Mengapa?

Intinya, makin matang logika seseorang maka makin bisa dia memilah informasi sebelum memutuskan sesuatu terkait moral. Urusan moral itu sederhana tapi juga tidak terlalu sederhana. Dan persoalan menyangkut manusia tidak ada yang terlalu sederhana, perlu kecerdasan logika untuk bisa menyikapinya dengan baik. Itulah kenapa manusia dianugerahi kemampuan berpikir...

Tapi sialnya, sekarang ini propaganda politik saat ini seolah-olah menggiring kita untuk mendowngrade logika moral kita menjadi logika moral anak-anak yang sederhana, misalnya saja kita disuruh milih Partai Allah atau Partai Setan. Hadeh...

Sialnya, akhir-akhir ini penggunaan logika sepertinya banyak dikalahkan oleh propaganda politik yang cenderung mendangkalkan logika. Misalnya, ada seorang Kyai menghadiri undangan ke Israel langsung dianggap pasti temennya Israel, mencederai umat Islam. Logika yang terlalu sederhana kan?

Sialnya lagi, yang menumbuhkan opini tersebut adalah politisi level nasional, yang harusnya punya tugas melakukan pendidikan politik. Dan penyederhanaan logika dan framing politis menjelang 2019 pasti akan makin masif lagi kayaknya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun