Paskah adalah satu momen ketika iman Kristen bergetar hebat di hadapan misteri cinta yang paling radikal dimana Tuhan sendiri yang rela turun, menderita, dan wafat demi menebus manusia. Membahas paskah dalam kekristenan bukan semata-mata soal kebangkitan Kristus. Lebih dari itu, ada banyak hal yang tidak akan pernah lepas dari Paskah, seperti dosa, pengorbanan, kematian, penebusan dan kebangkitan. Namun kisah salib tidak hadir tiba-tiba dalam Injil, buku iman orang kristiani.
Kisah pengorbanan ini sudah dibisikkan perlahan sejak halaman-halaman awal Kitab Suci. Jika ingin ditelusuri lebih jauh, akan ada kisah pengorbanan untuk penebusan dosa di Taman Eden, maka dari itu dalam rangkaian pekan suci, bacaan-bacaan dalam misa membahas dari kitab kejadian, saat penciptaan hingga kejatuhan manusia ke dalam dosa, mungkin akan saya bahas di refleksi paskah tahun depan.
Namun, dalam refleksi ini saya coba untuk mengangkat cerita dari Bapa Segala Bangsa. Â Salah satu bisikan paling dahsyat itu terjadi di sebuah tempat bernama Gunung Moria, di mana seorang ayah diminta mempersembahkan anaknya yang tunggal, anak yang dikasihi. Di sanalah, ribuan tahun sebelum Golgota, bayangan salib telah jatuh dalam kisah Abraham dan Ishak. Beberapa teman saya berpendapat bahwa hal tersebut merupakan wujud ketaatan Abraham kepada Allah, namun jika memang Allah hendak menguji ketaatan Abraham, kenapa Dia menghentikan Abraham untuk menyembelih Ishak?
Ada satu kalimat dalam Kitab Suci "Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku" (Yesaya 55:8). Ketika Tuhan memerintahkan Abraham untuk mempersembahkan Ishak, logika manusia seolah lumpuh. Jika kita melihat dari kacamata biblis baik itu dari perspektif Yahudi maupun Kristen, Ishak bukan hanya anak yang dikasihi, tapi juga janji yang telah lama ditunggu---buah dari iman dan kesetiaan yang diuji habis-habisan. Namun justru janji itu yang diminta untuk dikorbankan.
Tidak ada protes panjang dari Abraham, hanya kepatuhan yang sunyi dan langkah yang perlahan menuju puncak gunung, membawa kayu, membawa anak, dan membawa iman. Saya sendiri tidak tahu pasti, apakah Abraham sebenarnya sudah mengetahui rencana Allah untuk dia dan umat manusia, karena dalam kisah Kejadian tidak ada banyak pertanyaan dari Abraham. Kalimatnya kepada Ishak begitu hening tapi mengguncang, "Allah sendiri yang akan menyediakan korban itu, anakku."
Kitab Suci juga tidak menjelaskan secara detail ekspresi Abraham ketika hendak melakukan pengurbanan itu, mengurbankan anaknya sendiri. Namun, jika kita membaca dari perspektif sebagai seorang ayah, seorang bapak yang punya anak Tunggal, tentu hal itu menjadi sangat berat dan sangat tidak mudah. Atau boleh jadi, ketika itu Abraham punya satu keyakinan bahwa "Ishak adalah anak yang telah dijanjikan Allah, mana mungkin Dia meminta lagi?" sehingga tanpa banyak pertanyaan, Abraham membawa Ishak ke Moria.
Membahas soal Gunung Moria, dalam tradisi iman, gunung ini bukan sekadar lokasi geografis. Moria menjadi sebuah panggung simbolik yang menunjuk jauh ke masa depan. Banyak tafsiran-tafsiran dan para Bapa Gereja meyakini bahwa Moria adalah tempat yang kelak akan dikenal sebagai Golgota---bukit tempat Yesus disalibkan.
Maka kisah Abraham dan Ishak bukan hanya kisah tentang ujian iman, lebih dari itu hal ini menjadi sebuah rangkaian kisah yang menjadi tonggak iman kristiani. Jika kita membaca kisah Ishak memanggul kayu untuk pengorbanannya, seperti Yesus memanggul salib-Nya. Ishak adalah anak tunggal yang dikasihi, seperti Yesus adalah Anak Tunggal Allah. Domba yang akhirnya dikorbankan menggantikan Ishak menunjuk pada Yesus, Sang Anak Domba Allah yang menanggung dosa dunia. Domba itu tertangkap di Semak berduri yang menjadi bayangan dari mahkota duri yang kelak dikenakan oleh Yesus Kristus. Domba itu bahkan tidak memberikan perlawanan ketika akan dikurbankan. Bahkan dalam symbol-simbol yang kecil, rencana keselamatan telah diisyaratkan sejak dahulu kala. Namun, apakah Abraham menyadari hal itu? Saya tidak tahu pasti.
Namun, kita dapat melihat satu kontras yang sangat tajam dan antara Moria dan Golgota: di Moria, Allah mencegah Abraham untuk menyembelih Ishak. Tapi di Golgota, tidak ada tangan yang menghentikan paku menembus tubuh Kristus. Di Moria, Allah menyediakan pengganti. Di Golgota, Allah justru menjadi pengganti itu sendiri. Seolah Tuhan berkata kepada Abraham---dan kepada kita semua---"Berat, ya, menyerahkan anak yang kau kasihi? Percayalah, Aku tahu rasanya, dan suatu hari nanti, Aku sendiri akan melakukannya. Untukmu dan Untuk dunia." Dapat dipahami bahwa Allah menggunakan Abraham untuk berkata kepada kita bahwa penebusan dosa akan dilakukan.
Paskah adalah saat ketika janji itu ditepati sepenuhnya. Allah tidak hanya meminta kesetiaan dari manusia, Ia sendiri yang turun tangan, mengambil tempat korban, memikul kayu salib, dan menyerahkan nyawa. Salib bukan kekalahan, tapi penggenapan. Paskah bukan sekadar kisah akhir, tapi puncak dari sebuah narasi cinta yang telah dimulai sejak Abraham mendaki Moria.