Mohon tunggu...
Yus Efendi
Yus Efendi Mohon Tunggu... -

Menulis adalah syair hati yang menyembuhkan. Follow juga @yusefendy

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nurani Seorang Jurnalis

16 Mei 2011   15:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:34 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menulis sesuatu merupakan pencitraan seorang wartawan, ketika saya kecil saya memimpikan suatu ketika saya akan menjadi sesosok “Rosihan Anwar” atau “Mbak Linda” (Wartawati Kompasiana yang terkenal itu). Profesi yang menurut saya membutuhkan kedalaman pengetahuan untuk mengulas sampah menjadi bahan yang enak untuk direnyah para pembacanya. Kegiatan jurnalisme ini membuat banyak seni apabila mampu didalami dengan baik dan dilakukan dengan semangat jurnalisme yang jujur, tanpa memihak atau menguntungkan segelintir kepentingan?????.

Sebenarnya apa sih pekerjaan wartawan? mencari berita? menginformasikannya pada publik? mengungkapkan kebenaran? atau bahkan memberi pertanggungjawaban ke pemred? menjadi wartawan memang banyak sekali keuntungannya, selain nambah pengetahuan, dapat honor, tapi bisa juga jalan-jalan ke luar negeri, bisa masuk ke beberapa event tertentu dengan gratis, juga bisa menanyakan apa saja kepada siapa saja. Menurut Wikipedia, Wartawan atau jurnalis adalah seorang yang melakukan jurnalisme, yaitu orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirimkan/ dimuat di media massa secara teratur. Laporan ini lalu dapat dipublikasi dalam media massa, seperti koran, televisi, radio, majalah, film dokumentasi, dan internet. Wartawan mencari sumber mereka untuk ditulis dalam laporannya; dan mereka diharapkan untuk menulis laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat.

Mengulas sudut teori jurnalisme akan berbenturan dengan banyak teori atau pandangan para ahli, namun pandangan awam kita mengartikan jurnalisme sebagai proses mengulas pemberitaan untuk dinikmati khalayak ramai (masyarakat) sebagai bntuk informasi untuk kemudian menjadi sebuah isue. Kenikmatan menulis seperti jurnalis tersebut membuat saya ingin berubah wujud menjalani profesi ini, profesi yang menantang dan mengaplikasikan banyak cerita kehidupan dunia ini, dimana ulasan dan cerita tersebut menjadi bagian urat nadi dunia ini.

Nurani tulisan jurnalisme

Wartawan dan kebohongan adalah dua senyawa yang tidak boleh bersatu. Wartawan adalah profesi yang menuntut kejujuran dan keterusterangan dalam memperoleh dan mempublikasikan berita, dan berbohong adalah perilaku untuk mengelabui atau menutup-nutupi suatu fakta. Wartawan yang berbohong dengan beritanya, karena itu bisa disebut telah melakukan kejahatan terbesar kepada publik. Mengutip cerita Janet Leslie Cooke, reporter The Washington Post, dua hari pasca ia menerima Putlizer tahun 1981. redaksi koran itu akhirnya mengembalikan penghargaan bergengsi untuk karya jurnalistik itu kepada panitia. Sehari sebelumnya koran ternama itu juga menggelar konferensi pers dan meminta maaf secara terbuka kepada publik perihal artikel “Dunia Jimmy” yang ditulis Cooke dan memenangkan Pulitzer. Permintaan maaf yang sama juga ditulis dalam tajuk rencana koran itu.

Redaksi The Washington Post berkepentingan melakukan semua itu, karena “Dunia Jimmy” ternyata hanya sebuah kisah fiktif  dan  tidak berdasarkan fakta, yang ditulis oleh Cooke. Dimuat di halaman A1 edisi 29 September 1980, “Dunia Jimmy” mengisahkan seorang anak kulit hitam berusia 8 tahun yang kecanduan heroin. Cooke menggambarkan Jimmy sebagai anak yang  tumbuh di lingkungan kumuh di sudut Washington DC. Jimmy yang putus asa disebut-sebut telah menjadi pecandu heroin sejak barang laknat itu dikenalkan oleh pacar ibunya.

“Jimmy adalah pecandu heroin generasi ketiga. Seorang anak kecil yang dewasa sebelum waktunya dengan rambut berpasir, dan bermata cokelat. Di lengannya yang masih halus seperti kulit bayi penuh dengan bekas tusukan jarum suntik.” Begitulah antara lain, salah satu paragraf artikel Cooke (lihat artikel lengkap “Jimmy’s World”)

Sehari setelah “Dunia Jimmy” dimuat, redaksi The Washington Post menerima banyak telepon dari para pembaca yang simpati kepada Jimmy. Mereka meminta redaksi agar membuka identitas anak itu, dan berharap bisa membantunya dari ketergantungan narkoba atau menyelamatkannya dari mafia obat bius. Pemerintah kota Washington DC pun, waktu itu bahkan sibuk mencari alamat si Jimmy tapi alamatnya tetap tidak ditemukan

The Washington Post akan tetapi bergeming untuk tidak membuka identitas Jimmy dan membela Cooke.  Desas-desus pun merupa di tengah publik.  Artikel Cooke dicurigai sebagai tulisan fiktif yang tidak berdasarkan fakta. Persoalan menjadi jelas setelah Cooke didesak para redakturnya untuk membeberkan idnetitas Jimmy, sehari setelah dia menerima Pulitzer pada 13 April 1981.

Semula reporter perempuan berkulit hitam itu bersikeras tapi salah satu redaktur menyodorkan bukti-bukti soal riwayat akademisnya yang penuh manipulasi. Dia tersudut dan akhirnya mengakui telah mengarang cerita dan sama sekali belum pernah bertemu dengan Jimmy.

Cooke lalu mengundurkan diri sebagai wartawan The Washington Post dan sesudahnya menghindari publikasi. Dia baru muncul 15 tahun kemudian di majalah GQ dan menceritakan kisahnya yang memalukan dunia wartawan itu. Cooke antara lain mengaku terpaksa mengarang “Dunia Jimmy” karena redakturnya selalu meminta untuk menghasilkan sesuatu. Wawancaranya itu dibeli TriStar Pictures seharga US 1,5 juta untuk dijadikan skenario film dan Cooke mendapat bagian lebih dari separuhnya.

Mengutip Rusdi Mathari, Di Indonesia, kasus yang serupa “Dunia Jimmy” pernah terjadi di Jawa Pos. Koran itu dua kali memuat tulisan fiktif perihal keluarga dr Azhari, warga negara Malaysia yang sejauh ini disebut-sebut sebagai tersangka teroris. Pertama tulisan berjudul “Kasihan, Warga Tak Berdosa Jadi Korban” (Jawa Pos, 3 Oktober 2005) dan “Istri Doakan Azhari Mati Syahid” (Jawa Pos,10 November 2005). Dua berita itu dimuat berdasarkan “wawancara” dengan Noraini, istri Azhari. Sama dengan The Washington Post, redaki koran terbesar di Jawa Timur itu juga menulis permintaan maaf kepada para pembacanya, hampir dua bulan setelah dua berita dimuat. Wartawan yang menulis soal istri  Azhari itu pun dipecat.

Menulis sebagai nurani

Mbak linda adalah kompasianer favorit saya, ia memang mantan wartawan (menurut profil). Namun kehadiran mbak linda seperti sebuah berita atau ulasan yang begitu hangat bagi kompasiner pemula seperti saya, mbak linda mengupas tajam dan terperinci bahasa jurnalismenya dan itulah daya tarik wartawan masa lalu yang nilai-nilai independensinya tak luntur ditelan zaman. Menulis sebagai nurani adalah ungkapan yang tepat buat “Rosihan Anwar”, wartawan senior ini mampu menghipnotis bangsa ini untuk selalu jujur dan bernurani dalam kehidupan berbangsa. Rosihan telah melewati beberapa zaman yang penuh tantangan dan memberikan gagasan jurnalisme yang ditiru oleh ribuan pekerja jurnalis di negeri ini. Namun di akhir hayatnya, Rosihan sempat mengeluhkan nilai-nilai jurnalisme yang kian luntur kepada mbak linda, Rosihan Anwar mengeluhkan pendalaman berita yang semakin berkurang, anak-anak muda yang menjadi wartawan sekarang malas membaca dan mendalami masalah.  Bekerja  berburu berita di atas nurani tertinggi juga rasanya tidak begitu kental lagi.

Semoga pesan atau petuah Rosihan Anwar mampu membekas di nurani segenap jurnalis di negeri, karena perubahan akan hadir dengan ketidakberpihakan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Terima kasih Pak Rosihan atas nasehatmu untuk kami yang masih mengakali kehidupan di negeri ini.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun