Mohon tunggu...
Yety Ursel
Yety Ursel Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu merasa kurang banyak tau

Menulis untuk menyalurkan energi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Idolaku

3 Januari 2012   13:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:23 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku betul-betul terkejut melihat kondisinya saat ini, betul-betul di luar dugaan, dalam mimpiku dia adalah sosok bidadari cantik yang melintas anggun di relung hatiku, dia adalah idola semua siswa laki-laki di sekolahku, Dia adalah tokoh utama yang hadir dalam setiap percakapan diantara kami.

Aku ?, bukan siapa-siapa, prestasi akademikku lumayan payah, tampang? Paling masuk skala 6-7, fasilitas sekolah yang aku punya? Tidak ada yang istimewa, sekolah hanya mengandalkan kecepatan dan kelincahan dua kakiku.

Aku adalah pemujanya, kami berbeda kelas, AkuIPS, sementara dia masuk jurusan IPA, bahkan dengan prestasi belajar yang patut dibanggakan. Dia jago nyanyi tapi juga pandai mengaji. Dia memang sempurna, dan aku hanya berani mengaguminya dari jarak jauh.

Tiga puluh tahun, masa-masa SMA itu aku tinggalkan, namun bayangan wajahnya tetap setia menyertaiku, jika bukan karena ingin membahagiakan kedua orang tuaku, mungkin hingga saat ini aku belum juga menikah, aku begitu terobsesi memilikinya sebagai pendamping hidupku.

Istriku, wanita sederhana, manis dan setia. Aku menyayanginya sebagai bentuk tanggung jawabku sebagai suami, kami telah dikaruniai dua gadis kecil, yang cantik dan sehat tentunya, Gita dan Nada. Tapi obsesiku untuk memiliki gadis idamanku tidak juga hilang.

“Wan...!” sebuah suara memaksaku menoleh, aku berusaha menemukan arah asal suara itu,“Hei...kamu Wawan kan?”seorang perempuan kira-kira berusia 47 tahun senyum-senyum ke arahku, lama aku mengamati perempuan paruh baya itu, dia mengenakan celana jeans warna biru, agak lusuh, dan kemeja sport biru muda, juga sudah tak baru lagi.

“waduh.... kamu sudah lupa ya sama aku?”

“eh..iya..maaf, siapa ya?” perasaan bersalah menyergapku, gak enak rasanya terjebak dalam suasana begini.

“yah... sudah takdir aku kali, tidak ada lagi yang ingat sama aku”dia ucapkan itu dengan tetap mengembang senyum, tapi aku dapat merasakan kegetiran dalam nada suaranya, aku semakin merasa bersalah

“maklumlah... sudah umur...” kucoba mengurai semuanya dengan sedikit bercanda, berhasil !!, matanya kembali berbinar. “ayo dong katakan, kamu siapa ya?” rajukku kemudian

“Aku Fina, Wan...!”

“Fina ?, Fina kirana?” aku begitu terkejut mendengar nama itu, Fina Kirana sang idola, yang selama bertahun-tahun mengganggu mimpi-mimpiku, hari ini kutemukan kembali. kupandang lekat-lekat seluruh bagian wajahnya, betul ini Fina !!!, tai lalat di atas bibirnya masih ada di situ.

Fina Kirana, yang kutemui di pasar inpres ini, sangat berbeda dengan Fina yang menjadi idolaku, Kulitnya tidak lagi putih, matanya tidak lagi berbinar, rambutnya tidak lagi panjang terurai, semua sudah berubah. Ada rasa iba di hatiku, tapi aku bingung, apa yang harus aku lakukan.

“Fina, aku belum makan siang nih, mau ikut aku makan gak?” tiba-tiba saja gagasan itu muncul di kepalaku, aku ingin tau lebih banyak tentang dirinya, mungkin sambil makan dia akan bercerita panjang tentang hidupnya.

Kehidupan Fina memang tak secantik wajahnya, setamat SMA dia menikah dengan laki-laki pilihannya, seorang pengusaha muda yang menjanjikan kemewahan dan kesenangan, tetapi semuanya tidak abadi, setelah memiliki dua orang anak, usaha suaminya bangkrut, Fina terpaksa banting tulang untuk menghidupi anak-anaknya, sementara suaminya mengalami depresi berat.

Usai makan, aku mengantarkan Fina pulang ke rumah kontrakannya, sebuah rumah petak yang sangat tidak layak dihuni empat orang, rumah dengan dinding papan triplek tanpa pembatas, semua kegiatan dilakukan dalam ruangan yang sama sehingga ruangan itu terlihat sangat berantakan. Tenggorokanku tercekat menyaksikan pemandangan ini, seorang laki-laki, duduk tanpa ekspresi beralaskan kasur busa tipis, seorang anak laki-laki, kira-kira beumur 9 tahun tergeletak nyenyak di atas kasur yang sama.

“Mari masuk, maaf tidak ada kursi...”

“tidak apa-apa Fin, tapi maaf, aku tidak bisa mampir, aku ada janji dengan anak-anak di rumah” tidak tega rasanya berada lama-lama dalam rumah ini, akupun kemudian berpamitan dengan meninggalkan sedikit uang “telepon aku kalau kamu butuh bantuan, mudah-mudahan aku bisa membantu kamu”.

Pukul 19.00, ketika aku sampai ke rumah, Istri dan anak-anakku tengah menungguku untuk makan malam. Tiba-tiba aku begitu merindukan mereka semua, merekalah kebahagiaan yang telah dikirimkan Allah untukku. Karena merekalah Allah memberikan semua rizki ini bagiku, Dan aku harus mensyukurinya.......Kini Sang Idola itu telah berlalu dari pikiranku...... dan sempurnalah kebahagiaanku.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun