Konflik internal partai bukan lagi menjadi hal yang baru dalam politik dan keberlangsungan demokrasi. Perkara yang selalu berujung pada kudeta kepemimpinan ini menjadi hal yang sangat lumrah dan dinilai wajar bagi sebagian orang, bahkan rakyat juga memiliki apresiasi sendiri melihat konflik kalangan elit tersebut.
Isu Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang berhembus ke public, menjadi terang setelah KLB sukses digelar di Deli Serdang. Isu yang tidak hanya sekedar wacana ini kemudian direalisasikan oleh beberapa kader dan merupakan buntut dari pemecetan tujuh kader partai democrat oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku Ketua Umum hasil Kongres tahun 2020 lalu. Adanya politik dinasti dan hilangnya demokrasi ditubuh partai democrat menjadi alasan kuat pentingnya KLB dilakukan, dari merubah beberapa pasal dalam konstitusi partai yang dianggap disdemokratis hingga terpilihnya orang lingkaran istana KSP Moeldoko sebagai Ketua Umum baru versi KLB.
Partai democrat dianggap sebagai partai keluarga cikeas, membelenggu demokrasi dalam struktur bangunan politiknya ini yang kemudian dianggap sebagai sebuah pelanggaran dalam tubuh partai politik yang merupakan representasi dari alat politik menuju demokrasi itu sendiri.
Dualisme yang sering terjadi di tubuh partai menjadi penanda bahwa demokrasi masih bisa berjalan walau hanya berada dalam ruang kecil dan kemudian berakhir pada kekuatan yang dominan dalam menguasai keadaan. Melihat proses demokrasi yang berlangsung ditubuh partai pun menjadi hal penting untuk dicermati, lalu menimbulkan pertanyaan bagaimana demokrasi berkembang dalam struktur bangunan partai politik?.
Istanaisasi Demokrat
KLB yang menyerang kepemimpinan AHY ini bukan hanya sebatas persoalan internal parpol. Terpilihnya Moeldoko yang merupakan orang lingkaran istana dan bukan kader democrat menjadi pembicaraan yang berimplikasi pada pandangan keterlibatan istana dalam pengambil alihan kekuasaan partai democrat.
Memang, lingkaran istana kali ini memiliki ruang lingkup yang cukup luas, ditambah beberapa lawan politik yang turut bergabung dan melepas stigma oposisi, sehingga mekanisme check and balance dalam struktur pemerintahan yang demokratis tidak berjalan baik dan efektif. Keterlibatan istana sangat dimungkinkan dalam konflik partai yang diluar kekuasaan. Dengan kekuatan yang dimiliki, istana dapat menggunakan alat-alat persuasive maupun represifnya dalam menetralisir goncangan politik, dengan mengambil alih kekuasaan partai democrat yang saat ini berada pada lingkaran oposisi pemerintahan menjadi jalan yang tepat untuk melemahkan kekuatan politik democrat itu sendiri, melalui politik adu domba yang akan berakhir kehancuran eksistensi politiknya.
Namun melihat dinamika yang berkembang, asumsi yang muncul terkait keterlibatan istana dalam KLB Partai democrat ini terbantahkan dengan hasil keputusan kemenkumham yang menolak KLB Deli Serdang, sehingga implikasi buruk yang dilempar ke lingkaran istana pun lenyap. Spekulasi lain muncul dengan tanggapan bahwa KLB yang dilakukan hanya untuk melempar opini public dan dramatisasi semata yang dilakukan oleh partai democrat untuk menjebak lingkaran istana dalam strategi politik democrat dalam konteks pelemahan demokrasi yang dilakukan oleh kelompok elit kekuasaan.
Dinamika partai politik yang berkembang hingga kini, tidak bisa dilepas dari bagaimana kelompok-kelompok oligarkis merebut kekuasaan. Melihat partai politik merupakan bagian penting dalam perebuatan kekuasaan yang berimplikasi pada melemah atau menguatnya kekuatan politik lawannya. Sehingga konflik yang terjadi dalam tubuh partai dapat terjadi kapanpun, yang selalu didasari pada keterlibatan lingkaran kekuasaan sebagai tameng perlindungan pengakuan sebagian kelompok yang bertarung dalam dualism tersebut.