Mohon tunggu...
Yesi Hendriani Supartoyo
Yesi Hendriani Supartoyo Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"Ride Sharing", Alternatif Solusi Mengurai Kemacetan

6 November 2017   16:09 Diperbarui: 6 November 2017   16:40 1377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
HIburan di kala macet menyapa di jalanan ibukota (dok: pribadi)

Sawadee Kha!

Sapa pemandu perjalanan kami dengan ramah setibanya saya dan rombongan di Bandara Don Mueng, Bangkok pada Mei 2017 silam. Matahari sedang menyinari ibukota Thailand dengan teriknya siang itu. Kami lalu melanjutkan perjalanan menuju pusat kota Bangkok dengan menggunakan bus. Sepanjang perjalanan saya menyaksikan bangunan gedung bertingkat, infrastruktur jalan layang, dan hiruk pikuk lalu lintas transportasi yang sekilas tak ada bedanya dengan ibukota Negara Republik Indonesia, DKI Jakarta. Hmm, Bangkok tak luput dari kemacetan.

Keadaan transportasi lalu lintas di Bangkok, Thailand (dok: pribadi)
Keadaan transportasi lalu lintas di Bangkok, Thailand (dok: pribadi)
Berbicara tentang kemacetan di Bangkok maka ada hal yang mengejutkan. Bahwa berdasarkan data kemacetan lalu lintas, pengemudi mobil di Negeri Gajah Putih tersebut membuang waktu di perjalanan disebabkan kemacetan sekitar 61 jam per tahun. Thailand pada akhirnya menduduki peringkat pertama terburuk di dunia kaitannya dengan kemacetan. Indonesia pun setali tiga uang dengan Thailand karena Indonesia menduduki peringkat kedua kemacetan terburuk di dunia. Hiks!

dok: databoks.katadata.co.id
dok: databoks.katadata.co.id

Berdasarkan laporan Inrix yaitu perusahaan analis transportasi tentang kondisi lalu lintas di seluruh dunia pada 2016, kemacetan menyebabkan orang-orang di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu sia-sia di jalan selama 47 jam dalam satu tahun akibat terjebak macet. Terutamanya Jakarta yang merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian sehingga menjadikannya sebagai kota tersibuk dan menyumbang kemacetan terparah di tanah air. Berdasar data, warga Ibu Kota menghabiskan 55 jam per tahun secara sia-sia di jalan. Angka tersebut lebih tinggi dibanding rata-rata nasional, yakni 47 jam. Namun, posisi Jakarta masih lebih baik dibanding Bangkok. Secara global Jakarta berada di urutan ke-22,sementara Bangkok di peringkat 12.

Di satu sisi pemerintah terus mengupayakan pengentasan kemacetan melalui berbagai cara semisal melalui program penanganan kemacetan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yaitu pembangunan infrastruktur jalan dan transportasi publik serta pembatasan kendaraan melalui program ganjil genap. Tapi, berdasarkan data hasil survey oleh LSI ternyata lebih dari 50 persen warga DKI Jakarta masih kurang puas terhadap penanganan kemacetan di ibu kota. Isu kemacetan terus menjadi masalah klasik di Jakarta.

dok: databoks.katadata.co.id
dok: databoks.katadata.co.id
Pasalnya, mayoritas warga DKI Jakarta tidak yakin bahwa sistem ganjil genap akan mengurangi kemacetan di Jakarta. Berdasarkan survei dari Indikator Politik Indonesia, sebanyak 59 persen warga ragu bahwa kebijakan tersebut merupakan solusi dari kemacetan yang terjadi di Ibukota. Hanya 31 persen penduduk yang merasa yakin.

dok: databoks.katadata.co.id
dok: databoks.katadata.co.id
Sama halnya dengan transportasi di Bangkok, beberapa infrastruktur jalan yang membentuk lanskap kota Bangkok tidak begitu berpengaruh secara signifikan terhadap kemacetan dikarenakan penggunaan kendaraan pribadi yang terus melampaui pembangunan infrastruktur. Hal ini lantas menjadi permasalahan klasik sama halnya dengan Jakarta.

Sebagai solusi sementara, kendaraan tradisional bernama Tuktuk yang menyerupai bajaj kerap menjadi kendaraan alternatif yang sering digunakan untuk menghindari kemacetan, selain kendaraan beroda dua (ojeg) tentunya. Indonesia khususnya Jakarta pun demikian adanya. Saya pribadi lebih leluasa menggunakan bajaj ataupun ojeg untuk menerobos kemacetan Jakarta terutama ketika diburu waktu. Apalagi saat ini sudah ada transportasi online yang semakin memudahkan berkendara dan lebih efisien dari segi waktu.

Tidak hanya dari segi waktu yang menguntungkan konsumen, faktor pembatas berupa biaya yaitu tarif taksi berbasis aplikasi (online) pun cukup bersaing dibandingkan taksi konvensional. Berdasarkan studi iPrice, tarif taksi online saat ini jauh di bawah taksi konvensional, baik jarak dekat (5 km) dan juga jarak jauh (20 km).

dok: databoks.katadata.co.id
dok: databoks.katadata.co.id
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan layanan angkutan online ini telah mengubah lifestyle dan cara masyarakat menggunakan angkutan umum. Tarif yang lebih murah dan layanan yang lebih praktis sangat memanjakan konsumen sehingga angkutan umum berbasis layanan internet ini benar-benar menyita perhatian. Mengingat ide kreatif dan inovatif yang diusung oleh angkutan online ini merupakan konsep berkendara bersama (ride sharing) atau carpoolingdimana mobil kepemilikan pribadi digunakan untuk mengangkut beberapa orang sekaligus dalam sekali jalan. Istilah kekiniannya yaitu "nebeng", tapi nebeng dalam hal ini ialah nebeng yang menghasilkan alias untung dan bukannya buntung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun