Mohon tunggu...
Yesi Aprilianti
Yesi Aprilianti Mohon Tunggu... Lainnya - Murid SMAN 28 Jakarta

Yesi Aprilianti (35) - XI MIPA 1 - SMAN 28 Jakarta Tugas di kompasiana Deky Septiandaris Bahasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Komunikasi dalam Rumah

29 November 2020   20:25 Diperbarui: 30 November 2020   05:37 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Saya di luar rumah banting tulang dari pagi sampai malam ,Bu! Kamu pikir saya di kerjaan jadi bos? Tolong hargai kerja keras suami. Hilangkan sifat boros-mu, Bu! Gaji saya dari bulan ke bulan makin surut apalagi dengan adanya pandemi seperti ini. Kalau saya tiba-tiba di PHK, saya menafkahi kalian dengan cara apa lagi?".

Lagi-lagi, aku mendengar Ayah sampai dirumah dengan rasa kesal karena melihat Ibu yang tergiur dengan barang-barang mahal yang biasanya Ayah mampu belikan tapi sekarang tidak. Ayah yang dulu semangat bekerja sekarang dari hari ke hari kelihatannya lesu. Tetapi Ayah menyembunyikan itu dihadapanku. Disisi lain, aku sangat sedih dengan keadaan keluarga ku sekarang mengingat masa pandemi ini belum benar-benar berakhir. Aku hanya menutup telinga dalam hati ketika suasana rumah mulai kusut. Ibu yang mempunyai sifat keras kepala dan boros kadang tidak mau mengalah dengan keadaan.

Hari ke hari konsentrasi dalam belajar pun makin semrawut ditambah tugas-tugas yang makin hari makin menumpuk. Kadang, Ayah dan Ibu kalau sudah gelap mata yang dibicarakan hanyalah perceraian. Aku sedih sekali saat mendengar Ibu berkata bahwa keluarga ini tidak pantas untuk dipertahankan. Aku tidak mau memikirkan dan mendengarkan perkataan mereka pada saat itu tapi tetap saja mengganjal dipikiranku. Aku sayang sekali dengan Ayah dan Ibu.

Di umurku sekarang, aku dipaksa menjadi orang dewasa sejak kecil. Hidup sangat ironis. Aku hanya lelah menjadi anak yang merasa baik-baik saja. Aku ingin sekali menangis sekencang-kencang nya. Masalah baru bergantian setiap harinya. Aku hanya iri dengan keadaan keluarga diluar sana yang bahagia tanpa memikirkan beban yang ada di dalam pikiran. Aku hanya berharap dalam diri bahwa aku harus kuat dan menjadi anak yang penurut.

Hingga suatu hari, pertengakan antara Ayah dan Ibu pun muncul lagi. Disini benar-benar keputusan mereka untuk berpisah sudah di depan mata. "Shena, kamu akan memilih tinggal bersama Ibu atau Ayah?" terpukul aku mendengar perkataan Ibu seperti itu. Aku hanya bisa menangis dan berkata bahwa aku hanya ingin mereka memperbaiki semuanya. Aku tidak mau berada pada situasi memilih seperti ini. Aku hanya ingin mereka berdua selamanya dan pada akhirnya Ibu mengerti, Ayah pun mengerti. Mereka berdua sepakat untuk tidak mengulangi kejadian ini kembali. Mereka sangat menyesal karena membuat keputusan yang sangat tidak seharusnya.

Hari-ku saat ini lebih berwarna. Aku lebih sering tersenyum. Berbeda seperti dulu. Ibu dan Ayah mulai membaik dan mereka sangat menyesali perbuatan mereka selama ini yang hidup penuh dengan emosi dan kegelisahan. Aku semakin semangat belajar tanpa memikirkan beban apapun di otak. Rumah semakin hangat dan rumah adalah tempat yang sangat aku rindukan dimanapun aku berada. "Karena sudah lama sekali kita tidak melakukan makan malam bersama, Ibu akan buatkan makanan favorit Shena dan Ayah. Bisa antar Ibu ke supermarket? " aku pun tersenyum dan mengangguk. Aku harap kehangatan ini bisa aku nikmati selamanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun