Mohon tunggu...
Yazid Alveryo
Yazid Alveryo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sastra Indonesia, akademisi, music, and games

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sastra sebagai Alat Propaganda: Membangun Imajinasi atau Mengendalikan Pemikiran?

8 Desember 2024   16:39 Diperbarui: 8 Desember 2024   16:41 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/4LJwNFTQk

Sastra telah lama menjadi medium yang kuat untuk menyampaikan ide-ide, membangun imajinasi, dan merefleksikan realitas sosial. Namun, di sisi lain, sastra juga sering digunakan sebagai alat propaganda—membungkus pesan-pesan ideologis dengan cara yang halus, menyentuh emosi, dan memengaruhi pemikiran pembacanya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah sastra semata-mata menjadi cermin masyarakat, atau ia justru kerap digunakan untuk membentuk masyarakat sesuai kehendak kekuasaan?

Propaganda dalam sastra adalah upaya sistematis untuk memengaruhi pembaca, sering kali untuk tujuan politik, sosial, atau agama. Dalam sejarah Indonesia, karya sastra sering kali tidak lepas dari kepentingan ideologi, baik sebagai alat perjuangan maupun kontrol sosial. Di sinilah sosiologi sastra memainkan peran penting dalam memahami hubungan antara teks sastra, penulis, pembaca, dan struktur sosial tempat karya itu lahir.

Sastra dalam Bayang-Bayang Kekuasaan

Di Indonesia, banyak karya sastra yang digunakan sebagai alat propaganda, baik oleh penguasa maupun kaum perlawanan. Salah satu contohnya adalah karya-karya yang lahir di era Orde Baru. Novel-novel seperti Kubur Tanpa Nisan karya Bakri Siregar atau Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer sering kali dianggap sebagai cermin dari pergulatan ideologis pada masa itu.

Di sisi lain, sastra juga menjadi ruang perlawanan terhadap narasi penguasa. Pramoedya Ananta Toer, melalui tetralogi Bumi Manusia, tidak hanya menggambarkan perjuangan pribumi melawan kolonialisme tetapi juga melawan narasi hegemonik yang dikendalikan oleh rezim Orde Baru. Karya-karyanya menunjukkan bagaimana sastra bisa menjadi alat untuk membangkitkan kesadaran sejarah dan memperjuangkan keadilan sosial.

Selain itu, puisi-puisi Wiji Thukul, seperti “Peringatan,” menjadi simbol perlawanan terhadap otoritarianisme. Lewat bahasa yang sederhana namun kuat, Wiji Thukul mampu menggugah hati rakyat untuk menyadari penindasan yang mereka alami. Sastra, dalam konteks ini, tidak hanya menjadi cerminan masyarakat tetapi juga alat untuk menggugat ketidakadilan.

Widji https://pin.it/1cpMZNNtk
Widji https://pin.it/1cpMZNNtk

Sastra sebagai Refleksi dan Kritik Sosial

Sastra Indonesia juga kerap mencerminkan struktur sosial yang sedang berlangsung, baik untuk memperkuat maupun mengkritiknya. Misalnya, Para Priyayi karya Umar Kayam menggambarkan kehidupan kelas menengah Jawa dengan segala dinamika sosialnya, dari feodalisme hingga modernisasi. Di sisi lain, karya-karya seperti Robohnya Surau Kami oleh AA Navis menawarkan kritik sosial yang tajam terhadap mentalitas masyarakat yang terlalu pasrah tanpa berusaha.

Sastra sebagai alat propaganda di Indonesia juga terlihat dalam karya-karya yang mendukung ideologi tertentu. Misalnya, pada masa Orde Baru, beberapa karya sastra digunakan untuk menyebarkan narasi anti-komunis, sementara sastra bawah tanah yang melawan narasi tersebut ditekan. Hal ini menunjukkan bahwa sastra selalu berada dalam tarik-menarik kepentingan ideologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun