JAKARTA UTARA -- Damin (28) sudah akrab dengan laut. Sejak berhenti sekolah di kelas 3 SD, nelayan di kawasan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, itu telah turut sang bapak mencoba peruntungan sebagai nelayan kerang hijau. Bermodal perahu dari kayu yang dibuat sendiri, Damin berangkat melaut di pagi hari dan pulang pada tengah hari.
Alat tangkap kerang atau bagan dibuat dari bambu yang ditancapkan di tengah laut lokasi budidaya. Enam atau tujuh bulan sekali Damin akan panen. "Nyelem kita. Kadang-kadang setengah jam, kadang satu jam, tergantung banyaknya kerang. Kedalaman 15-20 meter. Kita tanam di tengah (kedalaman laut), ada yang di pinggir," kata Damin, ditemui usai pulang melaut, Selasa (9/3/2021).
Alat yang digunakan Damin bisa dibilang seadanya. Untuk bernapas selama setengah jam, bukan tabung oksigen yang digunakan, Damin mengandalkan mesin kompresor untuk menyuplai angin kencang sebagai udara. Hal itu ia lakukan untuk menghindari air masuk ke dalam mulut dan hidung. "Jadi kayak angin tambal ban aja," ujar Damin sembari tertawa.
Damin sering mendengar efek samping kompresor yang ia gunakan, mulai dari tekanan udara ke kepala sampai oli yang bisa merembes dari penampung ke selang. Namun ia merasa sudah terbiasa dan selama ini menggunakan mesin kompresor.
Hasil tangkapan kerang hijau Damin serahkan ke nelayan pemasar yang ada di dekat rumah. Sekali setor, ia bisa mengantongi sekitar Rp 300-400 ribu. Hasil itu tidak seberapa, sebab ada biaya bahan bakar kapal, oli mesin kompresor, dan perbekalan lain yang harus ia bayarkan. Harga jual juga sebenarnya tidak menentu. Tergantung permintaan pasar. Saat pandemi misalnya, harga kerang hijau anjlok.
Bukan hanya harga jual, Damin juga harus berhadapan dengan cuaca Jika cuaca buruk terjadi di tengah laut, Damin akan terus menerjang karena tidak ada lagi pilihan. "Waktu itu aja sempat tiga hari nelayan enggak pada berangkat. Makan-tidur-makan-tidur saja di rumah. Kalau ada hasil keuntungan kemarin, masih bisa dipergunakan," lanjut bapak dua anak ini.
Mencari Jalan Keluar
Tim Program Aksi Cepat Tanggap Apiko Joko Mulyanto menerangkan, nelayan kerang di teluk Jakarta kerap dihadapkan pada dilema yang pelik. Bukan hanya soal cuaca dan keselamatan menyelam yang telah menjadi isu menahun, terkikisnya mata pencaharian nelayan kerang juga berdampak pada kesejahteraan hidup.
Aksi Cepat Tanggap pun telah melakukan berbagai aksi dalam perjalanannya membantu nelayan di berbagai daerah. Bantuan itu antara lain berupa wakaf perahu dan dukungan pangan. "Meredam dilema sosial nelayan kerang di teluk Jakarta perlu langkah besar dan harus dilakukan berbagai pihak. Ikhtiar ini tentu kita upayakan," pungkas Apiko.[]