Â
Oleh: Yahya Ado
HARI ini berbasuh peluh. Ada darah, keringat, dan air mata. Menyatu dalam tiranibernoda hitam. Sejak 2015 sampai 2018, di 60 tahun NTT. Dengan peluh  dan air mata, kita telah menerima 237 peti mati.Akumulasi jumlah yang tak sedikit. Ini orang mati sia-sia sebagai hadiah ulang tahun NTT ke 60.Â
Darahmengental, lalu mengering. Tulang-tulang patah. Badan bekas luka, Â kaku. Bahkan dijahit dengan senar gitar. Organ-organikut hilang dijual. Ini benar-benar kematian yang tragis. Pilunya pilu, entahapalah namanya.Â
Ooooh,di manakah engkau yang mengaku saudara? Di manakah engkau yang mengaku sedarah?Di bumi pertiwi NTT ini? Apakah engkau tak merasa ada petir yang sedang menggelegardi nuranimu? Apakah ini tumpah darah, saudara? Darah harus berbalas darah? Nyawaini punya Tuhan. Mati pun di ajal Tuhan. Bukanlah di tangan majikan.Â
Seperti pucuk kering jatuh satu per satu.Hidup hanya seperti sampah. Mimpi mereka telah patah bersama ranting yangmelapuk. Anak, saudara mereka telah mati. Padahal mereka sandaran bila keluargaterhimpit ekonomi. Tapi mereka telah mati karena rupiah. Sungguh memaluan.Â
Tuhankah sedang mengutuk kita di tanah tandus NTT ini? Kita seperti kehilangan hatinurani. Menunggu satu peti ke peti mati berikutnya. Bahkan selama tahun 2018 diusia ke 60 tahun, NTT menerima 101 peti mati.Â
Selamatdatang meti mati berikutnya. Kami Turut Berduka sedalamnya. Â Doa kami untuk hukum yang telah mati, dankebijakan yang setengah hati.Â
Â
Salam,
DesaMata Air, 20 Desember 2018Â
Â