Hidup di tengah tekanan ekonomi zaman sekarang bikin banyak dari kita mikir dua kali soal masa depan. Apalagi buat yang usianya masih produktif tapi sudah mulai merasakan lelahnya jadi tumpuan. Menghidupi anak, membantu orang tua, mencicil rumah, sambil tetap berusaha menabung. Akhirnya, waktu untuk diri sendiri jadi hal yang mewah. Masa depan? Kadang cuma bisa dibayangkan, tanpa tahu harus mulai dari mana.
Fenomena ini bukan sekadar cerita pribadi. Banyak dari kita sedang berada dalam satu kelompok yang disebut generasi sandwich. Bukan karena suka makan roti isi, tapi karena benar-benar berada di posisi terjepit, di antara dua beban ekonomi yang sama beratnya. Di satu sisi, kita punya tanggung jawab ke anak-anak yang masih kecil dan butuh biaya hidup, pendidikan, dan perhatian. Di sisi lain, ada orang tua yang juga perlu kita bantu karena mereka tidak punya cukup dana pensiun atau jaminan hari tua.
Tanpa kita sadari, beban ini berisiko diwariskan. Kalau kita tidak punya strategi keuangan yang matang sejak sekarang, bisa jadi anak-anak kita kelak juga akan mengalami hal serupa. Siklus yang tak putus, dan perlahan mengikis kesehatan mental, finansial, bahkan spiritual.
Padahal, solusi untuk keluar dari jebakan ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Tapi memang perlu kesadaran dan aksi sejak dini. Persiapan pensiun bukan cuma urusan orang yang sudah dekat usia 60. Justru, masa pensiun yang sehat dimulai dari langkah-langkah kecil sejak usia 20-an atau 30-an. Sayangnya, banyak dari kita mengabaikan ini karena merasa masih "jauh", atau karena terlalu sibuk memenuhi kebutuhan saat ini.
Penting untuk memahami bahwa mempersiapkan pensiun bukan sekadar menabung di celengan atau rekening biasa. Ini tentang membangun sistem finansial pribadi yang berkelanjutan. Bisa dimulai dari membuat rencana keuangan yang realistis, mengenali kebutuhan di masa tua, lalu menyisihkan dana setiap bulan untuk tujuan jangka panjang. Instrumen investasi seperti reksa dana, saham, DPLK, atau obligasi negara bisa jadi pilihan. Bahkan, dana pensiun berbasis syariah kini juga tersedia dan makin banyak diminati.
Namun, tak semua orang nyaman hanya bergantung pada investasi. Karena itu, membuka usaha menjadi alternatif yang layak dipertimbangkan. Bukan berarti harus langsung punya ruko atau stok barang bertumpuk. Usaha kecil-kecilan dari rumah, jualan online, jadi reseller produk UMKM, bahkan menyewakan properti bisa menjadi sumber penghasilan tambahan yang kelak bisa diandalkan saat masa pensiun tiba. Yang penting, usaha ini bisa tumbuh perlahan sambil kita masih aktif bekerja, lalu bertransformasi jadi sumber penghasilan pasif di masa depan.
Selain soal pensiun, ada juga hal yang tak kalah penting: literasi keuangan. Kita hidup di era banjir informasi tapi sering kali kekurangan edukasi. Banyak yang tergoda investasi instan, ikut-ikutan tren keuangan tanpa paham risiko, atau bahkan terjebak hutang konsumtif yang bikin makin sulit menabung. Padahal, pemahaman dasar seperti membedakan kebutuhan dan keinginan, membuat anggaran bulanan, serta memiliki dana darurat bisa sangat menentukan masa depan finansial.
Literasi keuangan juga harus ditanamkan ke anak-anak sejak dini. Bukan dengan mengajarkan mereka cari uang, tapi membiasakan mereka mengenal konsep uang, belajar menunda kesenangan, serta menyadari bahwa uang bukan segalanya, tapi perlu dikelola dengan tanggung jawab. Banyak orang tua yang merasa tabu bicara uang ke anak, padahal ini adalah langkah awal menciptakan generasi mandiri yang tidak akan mewarisi siklus beban finansial yang sama.
Pada akhirnya, semua kembali ke pilihan. Kita bisa tetap hidup dalam pola lama menganggap masa tua urusan nanti dan membiarkan anak-anak mengulang pola kita. Atau kita bisa mulai membangun kesadaran baru: bahwa masa depan yang tenang itu tidak datang sendiri. Ia dibentuk dari keputusan-keputusan bijak hari ini.