Utari mencebik sebal. "Sama aja, Mas. Tapi Riri emang nggak salah, kok. Sesekali jalan-jalan ngabisin duit suami, itu kan emang tugas istri."
Gadis itu mengaduh ketika keningnya kena sentil. "Kejam banget sih, jadi suami!"
"Kamu itu ya, kalo dibaik-baikin malah suka ngelunjak!" Bagus Pandhita melepaskan Utari dari dekapannya. Dia kemudian menggandeng tangan Utari menuju kursi kerjanya. Sebelah tangan gadis itu masih mengusap-usap keningnya dengan dramatis.
"Memangnya pergi ke mana saja tadi?" Bagus Pandhita menjatuhkan tubuhnya di atas kursi empuk bersandaran tinggi yang bisa diputar itu. Dia menarik tangan Utari, hingga gadis itu jatuh terduduk di pangkuannya.
"Mas Bagus! Malu, ah!" Utari berusaha berdiri, namun tangan pria itu menahannya dengan kuat di kedua sisi pinggangnya.
"Sama suami sendiri juga. Lagipula kita sering melakukan hal yang lebih dari sekedar duduk bersama, kan?" Bagus mengaduh kecil ketika tangan Utari mencubit pinggangnya.
Pipi Utari kian memerah, namun terlihat makin menggemaskan di mata pria itu. Utari yang masih selalu terlihat malu-malu, namun bisa membuat kejutan luar biasa. Gadis nakal itu sudah membuat pikirannya kacau. Dia sungguh masih tidak mengerti, apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik kepala cantik itu.
"Mas, Riri ngabisin duit banyak banget. Ehm, kalo misal mau dimarahin juga nggak papa." Utari menunduk sambil memainkan kancing-kancing baju suaminya.
"Berapa banyak?"
Utari menggeleng, "Sebenarnya Riri nggak membutuhkan barang-barang itu. Cuma karena Riri merasa sedang stress akut, jadi semua diambil aja."
"Mas nggak akan mempermasalahkan hal itu, kok. Berapapun uang yang kamu habisin, itu adalah hak kamu. Tapi Mas nggak mau, kamu pergi tanpa pamit lagi. Melarikan diri nggak akan menyelesaikan masalah apapun."