"Aku tidak menyuruhmu tidur di punggungku, Riri." suara dalam dan lembut itu membuat Utari terkekeh. Dia tahu, pria itu sudah kembali menemukan keceriaannya. Tentu saja, Utari tidak mau kehilangan lagi.
Bukannya melepaskan diri, gadis itu justru semakin erat memeluk suaminya. Rasanya begitu nyaman. Seperti dia sudah pulang ke rumah. Semua kerumitan dan panas yang melanda hatinya, terasa menguar entah ke mana.
Utari menyukai aroma kopi yang berpadu dengan wangi parfum Bagus. Dia juga menyukai kehangatan dari otot liat penuh vitalitas itu. Betapa rasanya semua pas pada tempatnya.
"Mas, maafin Riri. Aku tahu, apa yang aku lakukan sudah sangat kekanakan. Tapi Mas juga harus mengerti, jika aku bukan burung di dalam sangkar. Sesekali aku membutuhkan bersosialisasi di dalam duniaku sendiri."
"Tapi kamu punya ponsel, kenapa tidak menghubungi orang rumah? Kasihan Pak Uyun, yang kalang kabut nyariin kamu."
Haish! Benar-benar bukan pria romantis! sungut Utari kesal. "Oh, jadi hanya Pak Uyun yang mencariku? Mas Bagus tidak cemas aku menghilang?"
Utari langsung melepaskan pelukannya dengan gemas. Dia memberengut kesal sambil bersidekap. Dia sudah hampir luluh, tapi sekali lagi pria itu menghempaskannya ke atas batu karang. Jika ada teropong yang dapat melihat kondisi hatinya, mungkin sekarang di dalam sana, salah satu organ vitalnya sudah berdarah-darah.
"Riri---" tangan Bagus yang sudah terulur, ditepis dengan kasar oleh Utari.
"Jangan menyentuhku! Aku tahu, meski aku tidak pulang sekalipun tidak akan ada yang mencemaskanku! Hari Minggu yang menyenangkan bukan? Terus saja saling melepas rindu dengan waranggana kesayangan Mas Bagus! Aku memang bukan siapa-siapa, dan tidak akan pernah menjadi siapa-siapa di hati Mas Bagus!"
Utari tidak dapat lagi membendung perasaannya. Seharusnya dia tidak menangis di depan pria itu. Benar-benar menunjukkan jika dirinya sangat lemah. Tapi apa daya, beban itu telah membuat dadanya sesak.
"Riri---"