"Berarti aku dapat memiliki harapan untuk hubungan kita di masa depan?"
"Kata orang, ucapanmu adalah doamu."
"Kalau begitu aku akan berkata jika kita akan bisa saling mencintai hingga maut memisahkan kelak."
"Mas Bagus!"
Pria itu tertawa, ketika Utari melepaskan genggaman tangannya. Gadis itu berdiri, dan mulai melepaskan belitan setagen di pinggangnya. Begitu hanya tinggal kain kemben dan bawahan, Utari segera menyambar handuk di lengan kursi dan melangkah cepat masuk ke kamar mandi.
Sementara Bagus Pandhita juga mulai melepaskan seluruh kain yang membebat tubuhnya. Dia mengambil kimono handuk dari dalam lemari, kemudian duduk menonton televisi sambil menunggu Utari selesai mandi air hangat.
Tubuhnya sudah sangat lelah, namun dia tidak dapat tidur jika belum mandi. Namun dia menyerah juga, ketika rasa kantuk menyerang dengan dahsyat. Utari yang keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar, menemukan pria itu terbaring di atas sofa.
Utari merasa sedikit bersalah. Dia tahu Bagus menunggu giliran membersihkan tubuh. Dia sudah diberi tahu oleh ibu mertuanya, jika pria itu tidak dapat tidur jika belum mandi. Dengan langkah pelan, Utari mendekat ke arah Bagus Pandhita.
Gadis itu berjongkok di depan Bagus Pandhita. Matanya menatap tanpa berkedip, pada sosok yang tengah tertidur pulas itu. Napas pria itu berembus teratur. Sepertinya dia tertidur dengan begitu damai.
Utari mengamati wajah tampan suaminya. Memperhatikan alis tebal Bagus, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, dan juga bibir pria itu yang penuh. Tanpa sadar, Utari sudah mengulurkan tangan hendak mengelus kerutan halus di sudut mata dan bibir pria itu. Namun dia segera tersadar, dan menarik kembali tangannya.
Dia tidak tega membangunkan Bagus Pandhita, namun pria itu juga butuh membersihkan tubuh setelah seharian ini kelelahan.