"Terima kasih."
"Iya. Kata Ibu, Bapak pandai bermain gamelan juga?" tanya Utari yang masih tidak percaya dengan sisi lain pria itu.
"Kamu juga ingin belajar? Nanti dengan senang hati, aku akan menjadi gurumu." Bagus teringat akan seperangkat gamelan di salah satu pojok Pendopo rumahnya. Hampir setiap sore banyak seniman Kabupaten berlatih karawitan di sana. Bayangan seorang wanita dengan suara mendayu, menyeruak ke dalam pikirannya.
"Bapak masih di sana?"
"Oh, ya. Apa tadi yang kamu tanyakan? Maaf, tadi aku sambil meneliti beberapa dokumen."
"Kalau Bapak sibuk, mending telponnya ditutup saja. Kita sambung lain waktu saja."
"Tidak, sekarang sudah selesai."
"Bener?"
"Ehm. Apa yang Ibu katakan kepadamu? Apa Ibu mengatakan semua kejelekanku?"
Utari tertawa kecil, mengingat semua yang dikatakan Naira kepadanya. Semua tentang Bagus Pandhita, sang putra semata wayang. Naira mengatakan semua hal, dari makanan kesukaan Bagus, hingga kebiasaan harian pria itu.
"Semua yang harus diketahui seorang calon istri mengenai suaminya. Saya tidak menyangka kalau Bapak seperti itu."