Tapi nih, dari dua gambaran fenomena yang kita bahas barusan.
Bagian menarik bagi gue adalah peran para pengikutnya, seakan-akan masyarakat kita udah begitu putus asa sama masa depan, sampai harus percaya dengan cara-cara yang menurut gue di luar nalar sih.
Gue jadi teringat dengan salah satu yang bernama MVO (Materialistic Value Orientation). Jadi kira-kira ini merupakan sikap dimana seseorang menghargai nilai dari harta benda secara berlebihan.
Mungkin ini juga yang menjangkit sebagian dari generasi millenial saat ini, memang sih banyak hal sangat memerlukan uang, sehingga menuntut kita untuk realistis dengan keadaan.
Tapi gini deh, tanpa sadar semakin kita materialis itu akan memacu kita menjadi narsistik.
Karena lu merasa sebagai individu sudah mencapai sesuatu yang 'ideal' dimata masyarakat.
Tanpa sadar kita lupa sama aspek sosial lainnya, seperti gotong royong. Atau sederhananya saling menghargai sesama manusia, tanpa harus memandang strata sosial dulu.
Jadi menurut gue menjadi manusia itu semakin hari semakin sulit, karena lu harus terus menerus dipaksa mengikuti nilai 'ideal' kemapanan yang dibangun sama masyarakat.
Nah, mungkin kondisi kaya gitu yang mendorong para pengikut "guru spiritual" itu pada betah dengan berbagai ilusi yang menjadi materi khotbah mereka.
Ada sebuah pertanyaan menarik, Kenapa sih lu harus gaul dan membagikan gambar/video berbagai kemewahan yang lu punya di media sosial?
Tanpa sadar kita jadi merasa perlu untuk melakukan itu semua, demi sebuah pengakuan dan "batas wajar" yang pergaulan kita buat.
Nah kalau kita semakin menggandakan nilai individualis dan materialis ini, ya jangan heran makin banyak hamba ilusi dan guru spitual halu semacam lia eden, ahmad musadeq, aa gatot dan si dimas kanjeng ini.
Mungkin kita bisa mencoba untuk mulai bergaul dan membuka sekat strata di lingkungan pergaulan kita yang paling dekat.
CMIIW...