Di antara jeda malam dan sunyi pekerjaan yang kini saya jalani sendiri, sering kali saya duduk dan menghitung ulang: bukan cuma angka-angka, tapi juga napas. Napas untuk bertahan, untuk berpikir jernih, untuk menjaga irama hidup agar tetap pada jalurnya, meski pelan.
Saya sudah tidak bekerja sebagai karyawan sejak usia 40. Bukan karena tak butuh penghasilan tetap, tapi karena saya merasa, saat itu adalah waktunya berani. Berani mengambil alih usaha keluarga yang selama ini berjalan seadanya. Banyak yang mengira saya "mewarisi", padahal sebenarnya saya "memulai ulang." Usaha kecil itu memang milik keluarga, namun belum optimal dan saya harus membangunnya dari hampir nol. Saya bukan penerus, saya perintis.
Kini, usaha itu masih berjalan. Kadang lancar, kadang malah membuat saya ragu apakah ini jalan yang benar. Tapi toh, roda tetap harus berputar. Karena saya tidak berjalan sendiri, saya membawa serta dua anak yang sedang kuliah di luar kota. Dua anak yang sedang belajar mengejar mimpi mereka, sementara saya berjaga agar mimpinya tidak ambruk karena soal makan dan tempat tinggal.
Biaya kuliah mereka tentu tinggi. Tidak hanya soal uang semesteran, tapi juga tempat kost, makan, transportasi, dan kebutuhan tak terduga lainnya. Saya tidak ingin mengeluh, karena saya pernah muda dan tahu bagaimana rasanya butuh ruang untuk tumbuh. Tapi saya juga tidak bisa bohong, bahwa setiap transfer bulanan itu seperti melepaskan sepotong tenaga dari tubuh saya.
Orang tua saya masih sehat. Mereka punya BPJS dan pensiun, sesuatu yang patut saya syukuri. Tapi tetap saja ada pengeluaran tambahan yang menjadi tanggungan saya. Obat luar, makanan tertentu, keperluan rumah yang kadang tak terpikirkan sebelumnya. Semuanya tak besar, tapi terus-menerus. Seperti tetesan air yang tak deras tapi lama-lama mengikis.
Sebagai generasi sandwich yang tidak bekerja sebagai karyawan, tentunya saya ingin sekali memikirkan masa pensiun. Tapi lama-kelamaan saya sadar, sepertinya batas pensiun itu bukan lagi soal usia. Ia lebih tentang kemampuan berusaha dan kemampuan keuangan menopang kehidupan sehari-hari. Pensiun sejati, mungkin adalah saat kita memiliki tabungan yang cukup untuk hidup tanpa harus melakukan sesuatu yang produktif secara ekonomi. Dan itu, terus terang, belum saya miliki. Belum sepenuhnya.
Di sinilah saya berdiri: di tengah. Diapit dua generasi yang sama-sama saya cintai. Menjadi generasi sandwich bukan cuma soal keuangan, tapi juga soal ketahanan jiwa. Ini bukan tentang menyesal atau mengeluh, tapi tentang belajar menerima bahwa beban kadang adalah bentuk cinta yang tak kita pilih.
Ada satu konsep yang selalu saya pegang: seperti dalam pesawat saat ada kondisi darurat, kita diminta memasang alat bantu napas untuk diri sendiri dulu, baru menolong orang lain. Bukan egois, tapi sadar diri. Saya harus kuat dulu agar bisa terus menopang. Maka saya berusaha untuk tetap waras, tetap punya mimpi pribadi meski sering harus saya sisihkan sementara.
Saya tak tahu kapan akan bisa pensiun dalam arti tenang, tidak lagi merasa kejar setoran, tidak lagi terburu-buru mencetak invoice atau memburu pesanan. Tapi saya ingin, ketika hari itu datang, saya tidak kehilangan arah. Bahwa semua ini bukan hanya tentang bertahan hidup, tapi menjaga tujuan.
Di malam-malam seperti ini, ketika anak sudah tidak serumah dan suara rumah terasa lebih hening, saya kadang merasa jauh dari masa muda saya yang penuh semangat dan cita-cita besar. Tapi di saat yang sama, saya juga merasa lebih utuh. Karena hidup, nyatanya, bukan tentang menjadi hebat, tapi tentang tidak berhenti mencoba.
Jika Anda juga merasa seperti saya di antara tuntutan dan pengharapan, di antara beban dan cinta, mari kita saling menguatkan, walau hanya lewat tulisan. Karena siapa tahu, suara kecil seperti ini bisa menjadi gema untuk orang lain yang juga tengah mencari cara bernapas di tengah kepadatan peran.Â