Setiap pagi, stasiun-stasiun di kota-kota satelit seperti Depok, Tangerang, Bekasi, atau Bogor dipenuhi oleh wajah-wajah mengantuk. Mereka berdiri bersandar di kursi peron, menatap layar ponsel, atau diam saja, terlelap dengan mata terbuka.Â
Ini bukan fenomena baru. Ini rutinitas. Mereka adalah pejuang perjalanan, orang-orang yang rela menempuh dua-tiga jam lebih-bolak-balik setiap hari demi bekerja di ibu kota.
Istilah "remaja jompo" muncul untuk menggambarkan dampak perjalanan panjang ini. Mereka yang mestinya berada di puncak usia produktif malah menghadapi kelelahan fisik dan mental yang mirip lansia.Â
Pergelangan kaki nyeri karena berdiri lama di kereta. Punggung kaku setelah duduk berdesakan di bus. Otak terasa kabur saat tiba di kantor. Energi sudah terkuras sebelum pekerjaan dimulai.
Perjalanan Panjang Menuju Kehilangan
Bagi banyak orang, perjalanan panjang bukan hanya soal waktu, tetapi kehilangan. Kehilangan kesempatan untuk tidur lebih lama, kehilangan waktu bersama keluarga, bahkan kehilangan kualitas hidup.Â
Orang yang tinggal di Bekasi misalnya, mungkin menghabiskan lebih banyak waktu di jalan daripada di rumah.
Studi menunjukkan bahwa perjalanan yang panjang dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental. Stres akibat kemacetan atau ketidaknyamanan transportasi publik sering kali menjadi awal dari masalah yang lebih besar-penurunan produktivitas, kurangnya motivasi, hingga risiko depresi. Jika ini terus berlangsung, tubuh yang dipaksa bekerja keras setiap hari akan mulai menyerah.
Mereka yang tinggal di kota-kota satelit seringkali menyebut perjalanan ini sebagai "pengorbanan." Tetapi, pengorbanan ini tidak selalu datang dengan imbalan yang sepadan.Â
Dalam jangka panjang, tubuh dan pikiran mungkin tak lagi kuat menanggung beban perjalanan yang panjang.