Mohon tunggu...
Arif  Mahmudin Zuhri
Arif Mahmudin Zuhri Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Hukum dan Ekonomi

Membangun Peradaban Modern.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menorehkan Ruh Asas Hukum Pidana (Pajak)

25 Februari 2021   15:45 Diperbarui: 25 Februari 2021   15:54 2421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahkamah Agung: mahkamahagung.go.id

Apabila seseorang melakukan perbuatan yang sama atau seiring beberapa kali, dan di antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang demikian erat sehingga rangkaian perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan. Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan- perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut” adalah:

1. Harus ada satu niat, kehendak atau keputusan;

2. Perbuatan-perbuatannya harus sama atau sama macamnya;

3. Tenggang waktu di antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama. Batas tenggang waktu dalam perbuatan berlanjut tidak di atur secara jelas dalam undang-undang. Meskipun demikian jarak antara perbutan yang satu dengan yang berikutnya dalam batas wajar yang masih menggabarkan bahwa pelaksanaan tindak pidana oleh si pembuat tersebut ada hubungan baik dengan tindak pidana (sama) yang di perbuat sebelumnya maupun dengan keputusan kehendak dasar semula.

Wajib Pajak badan yang melakukan tindak pidana perpajakan berupa tidak menyelengarakan pembukuan, maka dengan sendirinya Wajib Pajak tersebut juga melakukan tindak pidana berupa tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), hal ini dikarenakan salah satu persyaratan bagi Wajib Pajak badan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan harus dilampiri dengan pembukuan bahkan untuk Wajib Pajak tertentu, pembukuannya harus telah diaudit oleh Akuntan Publik. SPT yang telah disampaikan Wajib Pajak tetapi tidak memenuhi persyaratan sesuai ketentuan, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (7) Undang-Undang KUP bukan merupakan SPT sehingga hanya diberlakukan sebagai data perpajakan.

PENUTUP

Salah satu tantangan besar perubahan Undang-Undang KUP kedepan adalah mengenai desain atau arsitektur pengaturan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan. Pertama, sebaiknya tindak pidana di bidang perpajakan (pajak pusat) diatur dalam 1 (satu) Undang-Undang, tidak tersebar di berbagai Undang-Undang. Hal ini bisa diatur dalam Undang-Undang KUP atau Undang-Undang tersendiri yang mengatur khusus tindak pidana perpajakan.

Kedua, arsitektur ketentuan tindak pidana perpajakan seyogianya juga mengikuti berbagai dinamika pemikiran pemidanaan masa kini dan masa depan, misalnya terkait dengan restorative justice, perspektif kultural,  spiritual legalistik, paradigma baru ultimum remedium maupun primum remedium, dan skema sanksi pidana yang diperluas tidak sekedar pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda.

Ketiga, perlunya dilakukan pengikisan atau peniadaan dualisme keberlakuan ketentuan terhadap suatu kesalahan yang bersifat “mendua’’ dimana terhadap suatu kesalahan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan dapat diproses secara administratif maupun pidana.  Hal ini memang membutuhkan pemikiran yang mendalam mengingat pidana perpajakan merupakan pidana yang bersifat administratif (administrative penal law).

Keempat, tetap mengacu pada teori-teori/ilmu hukum dan asas atau prinsip hukum pidana yang berlaku umum, karena hal ini juga untuk menunjukkan kewibawaan dan marwah Undang-Undang  yang mengatur tentang pidana pajak,  termasuk juga menjalankan salah satu amanah konstitusi yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika Undang-Undang disusun dengan berlandaskan ilmu pengetahuan yang berkelindan dengannya, tentu juga akan melahirkan kepercayaan masyarakat terhadap Undang-Undang, pembuat Undang-Undang, dan institusi yang menginisiasi suatu peraturan-perundangan.

Kelima, perlu meluruskan paradigma bahwa tujuan pemidanaan hanya sekedar sebagai deterend effect dan sebagai suatu penderitaan bagi Wajib Pajak, tetapi tujuan pemidanaan juga untuk mewujudkan keadilan dan memberikan pendidikan bagi Wajib Pajak. Sangatlah penting mendidik Wajib Pajak yang sebelumnya jahat sehingga dipidana karena tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar atau mengambil uang rakyat (uang negara) yang bukan menjadi haknya, kemudian berubah menjadi sadar dan bertobat sehingga selanjutnya Wajib Pajak melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya dengan benar yang tentunya hal ini membawa kebaikan bagi negara dan bangsa melalui kontribusinya membayar pajak dengan baik dan benar.

*). Penulis Subarkah Centre.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun